Prolog: Tiga Kata yang Menyejukan Dunia
Kamu pernah dengar tiga kata ajaib ini: tolong, maaf, dan terima kasih? Kalau pernah, selamat! Setidaknya kamu masih hidup di dunia yang (agak) beradab. Tapi jujur aja, mendengar itu satu hal, merasakannya di hati itu perkara lain. Saya sendiri sering merasa adem kalau dengar tiga kata ini diucapkan tulus. Seolah ada udara sejuk yang numpang lewat di hati---walau dompet lagi panas-panasnya gara-gara tagihan bulanan.
Tiga kata ini bukan sekadar bentuk sopan santun, tapi seperti jendela kecil yang mengintipkan cahaya kasih sayang dan kerendahan hati. Kalau kamu sering dengar tapi cuma bereaksi "oh, yaudah," bisa jadi kamu butuh detoks emosional. Tapi kalau kamu bisa menikmati rasanya, selamat! Kamu termasuk orang yang beruntung, karena ada keindahan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
Saya pribadi belajar mengucapkan kata-kata ini dari orang tua. Mereka bukan lulusan Harvard, tapi mereka lulus dari universitas kehidupan dan kebijaksanaan. Ucapan "tolong" saya pelajari bukan dari seminar motivasi, tapi dari saat minta dibikinin teh di dapur. Ucapan "maaf" saya pelajari bukan dari buku etika, tapi dari dimarahi dan diajari memeluk setelahnya. Dan "terima kasih," ya... karena dari kecil saya diajari menghargai, bahkan sekadar diberi kerupuk.
Tiga kata ini kelihatannya remeh, tapi sebenarnya merekam akhlak langit dalam bahasa manusia. Maka kalau tiga kata ini lenyap dari kebiasaan kita, jangan kaget kalau hati ikut mengering, relasi membeku, dan dunia terasa makin kasar.
Tapi sekarang, makin ke sini, kata-kata itu makin langka. Bahkan mungkin lebih langka dari kata "diskon 100% tanpa syarat." Aneh ya? Padahal justru di dunia yang makin cepat dan kasar ini, tiga kata itu makin penting. Yuk, kita dalami bersama---kenapa kata-kata sederhana ini sesungguhnya adalah kunci spiritual yang bikin kita tetap manusia.
Tolong -- Rendah Hati adalah Jalan Menuju Tuhan
Kata "tolong" adalah salah satu bentuk bahasa paling sederhana dari kerendahan hati. Ketika kita mengucapkannya, kita sedang berkata, "Saya butuh kamu." Dan di zaman sekarang, di mana banyak orang ingin terlihat kuat, mandiri, dan serba bisa (bahkan rela ngedit CV biar kelihatan seperti superhero), mengakui kebutuhan itu butuh keberanian.
Padahal, dalam Islam, kesadaran bahwa kita ini makhluk lemah dan butuh pertolongan adalah inti dari ubudiyah. Bukankah kita setiap hari membaca dalam QS Al-Fatihah:
"Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" -- Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.
Kalimat itu bukan sekadar bacaan hafalan. Ia adalah pengakuan spiritual paling jujur bahwa kita tidak bisa hidup sendirian---bahkan untuk bernapas pun, kita butuh oksigen yang gratis dari langit.
Dalam khazanah tasawuf, meminta tolong bukan sekadar permohonan bantuan duniawi. Ia merupakan praktik takhalli - proses penyucian diri dengan melepaskan belenggu keakuan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin (Kitab Qalb, Bab Tazkiyatun Nafs) secara tegas menyatakan:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!