Ketika Sejarah Tak Lagi Netral
Sebagai mahasiswa S2 Kajian Ketahanan Nasional di Universitas Indonesia, saya pernah berpikir: mengapa sejarah di negeri ini terasa seperti kaset rusak yang terus mengulang nada sumbang? Setiap kali kita berharap Indonesia beranjak dewasa dalam demokrasi dan hukum, selalu saja ada episode baru yang mengingatkan kita pada masa lalu---yang katanya sudah dikubur, tapi ternyata cuma dipoles pakai narasi baru.
Belum reda suara dari Pemilu 2024 yang penuh drama, rakyat kembali dibuat geleng-geleng kepala oleh revisi Undang-Undang TNI yang membuka jalan bagi perwira aktif duduk di posisi sipil. Belum selesai juga masyarakat menghela napas soal proyek ibu kota baru yang megah tapi masih banyak PR lama yang numpuk, kini muncul teror kepala babi ke kantor Tempo. Alih-alih tanggapan serius, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan malah menyarankan untuk "dimasak saja." Mungkin maksudnya ingin kita belajar jadi masyarakat resilien, sekalian ahli kuliner ekstrem.
Saya mencoba memahami ini bukan hanya sebagai warga negara biasa, tapi sebagai bagian dari generasi yang dididik untuk berpikir strategis dan sistemik tentang ketahanan bangsa. Tapi jujur, terkadang lebih gampang memahami teori geopolitik dibanding memahami keputusan politik dalam negeri yang belakangan ini makin absurd.
Ketika buku-buku sejarah hanya menyajikan satu versi kebenaran, ketika jurnalis dikirimi kepala hewan, dan ketika kritik dibalas dengan candaan pejabat---maka jelas: kita tidak sedang baik-baik saja. Tapi mungkin, memang sudah waktunya kita kembali membuka buku-buku yang pernah dibungkam, agar kita tidak terus-menerus dibungkam oleh ketidaktahuan.
Sejarah yang Ditulis Pemenang: Masalah Lama yang Terulang Lagi
Kalau sejarah ditulis oleh pemenang, maka tak heran jika banyak luka di masa lalu justru dikemas dalam narasi kepahlawanan. Dari bangku sekolah hingga pidato-pidato resmi, kita diajarkan untuk mengingat versi yang "resmi"---versi yang tidak membuat gelisah para penguasa.
Buku Historiografi 1965/1966Â karya Soewarsono membuka pertanyaan penting: bagaimana sebenarnya sejarah dibentuk? Siapa yang berhak menuliskannya? Dan siapa yang akhirnya menghilang dari buku teks pelajaran? Buku ini menyelami cara kebenaran dikonstruksi---bukan berdasarkan fakta utuh, tapi melalui lensa kepentingan dan dominasi kekuasaan.
Kita bisa lihat dampaknya hari ini. Ketika militer kembali diberi ruang di jabatan-jabatan sipil lewat revisi UU TNI, publik yang sedikit "melek sejarah" langsung teringat pada era dwifungsi ABRI. Dulu katanya sudah dihapus. Tapi entah kenapa, seperti tren fashion 90-an, dia balik lagi---bedanya ini bukan flare jeans, tapi flare kekuasaan yang bisa membakar banyak sisi sipil.
Buku Kudeta 1 Oktober 1965Â karya Benedict Anderson juga menyajikan analisis yang tajam. Ia mengungkap bahwa peristiwa yang selama ini disebut "pemberontakan PKI" sebenarnya memiliki kompleksitas luar biasa---ada peran elite militer, geopolitik internasional, dan pertarungan pengaruh dalam negeri. Tapi sayangnya, sejarah itu disederhanakan dalam narasi hitam-putih: "yang satu pengkhianat, yang satu pahlawan."
Dan dari kesalahan penyederhanaan itulah, kita hari ini mewarisi trauma kolektif, ketakutan membicarakan sejarah, dan bahkan kemalasan berpikir kritis. Karena sejarah telah jadi monolog, bukan dialog.
Lucunya, ketika rakyat mulai membaca kembali sejarah dari versi-versi yang berbeda, malah rakyatnya yang dicurigai. Dianggap radikal lah, anti-NKRI lah, padahal yang radikal itu ya mereka yang ingin memonopoli narasi dan menghapus keragaman ingatan.