Mohon tunggu...
Mardiana Fatwaningrum
Mardiana Fatwaningrum Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

sedang belajar merajut.\r\nmerajut hati, mimpi, puisi dan tali ^^

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FFK] Getir Senyum Sang Penyamun

18 Maret 2011   13:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

siang terik, menghamburkan hawa panas yang pekat. Yanto menyeka keringat di dahi, matanya mengernyit terkena silaunya matahari. Tiba-tiba terdengar suara tak asing dari perutnya, pertanda belum diisi. Dari tadi malam. Yanto menggerutu pelan, tak ada yang mau memberinya sesuatu, -bahkan meskipun hanya uang 500 perak- karena badannya yang “sehat”, padahal kerjapun belum dia dapat.
Panas, jalan aspal memunculkan fatamorgana. Setelah beberapa saat dia beristirahat, dilanjutkannya perjalanan. Tiba-tiba dia mengumpat, kakinya yang tak beralas menyentuh jalan membuatnya melepuh.
Lengkap sudah penderitaanku, rutuknya lagi.

Sepi. Tak ada lalu lalang motor, tak ada lalu lalang sepeda, bahkan manusia. Yanto memandang sekelilingnya nanar, pikirannya meng-onar. Rumah-rumah tak berpenghuni. Pelan-pelan Yanto mendekati pagar rumah yang setinggi badannya. Dia berjinjit, mengintip sedikit.
Ada apakah disana, pikirnya. Buah rambutan yang ranum tepat berada di pekarangannya. Tanpa pikir panjang ia, mencari cara tuk masuk ke dalam. Mudah. Terlalu mudah untuk menyelinap bagi mantan atlet pencak silat sepertinya. Diambilnya buah rambutan itu, dengan kaki rapuh yang hampir melepuh.

Enak, puas perutnya terganjal setelah seharian menyusuri lika liku jalanan. Tasnya masih berisi surat berharga, sama dengan saat ia meminta restu Ibunya tiga bulan lalu.
"Bagaimana bisa kota ini makin menjadi setelah lama aku di luar negeri?", cerabihnya. Dia bersandar di selasar. Teduh.
Suasana berubah menjadi lebih bersahabat. Sambil mengedarkan pandangan, dia bernostalgia. Dulu rumah majikannya lebih bagus dari ini, namun tidak dengan hati mereka. Yanto meringis, mengingat bagaimana dia dulu pulang tanpa uang. Pulang menanggung malu, mereka tak memberikan haknya.
Ah, andai aku bisa membikin rumah seperti ini untuk ibu, Yanto mulai berandai-andai. Berapakah uang yang dibutuhkan, pikirnya.
seandainya dulu ia mendapat majikan yang tepat, pastilah kisah kesuksesan teman seperjuangannya yang sukses di negeri seberang juga menjadi kisahnya. Tapi apalah artinya itu kini? Terlambat. Setidaknya istrinya yang saat itu sekarat tak lagi kuat menunggu juru selamat mengirimkan ringgit ringgit penuh harap.

Yanto menyeka keringatnya. Pepohonan yang bergoyang tertiup angin siang seakan mengejeknya. Begitu pula burung-burung dengan kicau riangnya di atas pohon rambutan. "Bagaimana mereka bisa hidup tenang sementara mereka tidak tahu apakah mereka bisa makan?", pikirnya.
Yanto melengos. Pandangannya tertuju ke pintu belakang, pintu yang terlihat gampang dimasuki. Entah, tiba-tiba pikiran itu datang begitu saja. Mengendap-endap, dia mencoba membukanya dan, berhasil! Pakaian-pakaian setengah kering tergantung di jemuran, suara tivi terdengar memekakkan. Ternyata pembantu rumah ini sedang asyik nonton tivi, pikir Yanto, membuatnya lebih bersemangat. Cepat-cepat dia menyelinap di balik pintu lainnya, dan bau ayam bumbu rujak menyergap. Perutnya yang terisi sedikit, sekarang mulai memprotes lagi.

“mbak” dari dalam rumah terdengar suara kecil, membuatnya terkejut. Cepat-cepat dia sembunyi ke balik pintu.
“ya non?”
“kata mama aku ntar brangkat les nya sama mama aja. Skarang bantuin siapin baju ya”
“oke non cantik”
Kemudian sepi.

Hufft, Yanto lega.
Dia beranjak masuk. Melihat kanan dan kiri dapur. Bau makanan tak kuasa menahan perutnya mendengkur. “Kriiuuuk", dibukanya lemari makanan itu pelan.

"Sebentar Non, bibi ambilkan minuman di dapur", suara itu seketika membuat Yanto tanpa pikir panjang memasuki kamar di dekat sebelah dapur. Tak terkunci. Lega hatinya kini, walau tak sedikitpun makanan tadi sempat disentuhnya.

"Bi, sekalian ambilkan tasku di kamar ", suara itu lagi. "Pastilah pembantu itu akan kemari"

Dengan langkah seribu Yanto beraksi. Bersembunyi, itulah yang ada di benaknya. Pilihannya tidak banyak. Kamar dengan lemari kecil. Juga ada beberapa asesoris ruangan yang mungil.

"Gleek", pintu dibuka. Yanto hanya bisa mengelus dada ketika dilihatnya sepasang kaki mondar mandir. Kaki kaki yang sedang, untuk ukuran wanita standar. Sama dengan ukuran kaki istrinya yang tak pernah bisa ia lupakan sosoknya.

Lama. Detik jam yang hanya Yanto bisa dengar. Tapi kembali sepasang kaki-kaki kembali. “Apa yang pembantu itu lakukan di kamar?”, celetuknya pelan. Hening. Bahkan langkah kaki pembantu itu tak sedikitpun bisa memecah keheningan, yang membuat Yanto pulas dalam gelapnya lorong tempat tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun