Mohon tunggu...
Muhammad Fatwa Fauzian
Muhammad Fatwa Fauzian Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa IAIN KUDUS

Seorang manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membongkar Realitas Dalam Kampus

19 Oktober 2020   01:44 Diperbarui: 19 Oktober 2020   02:17 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama menjadi mahasiswa baru sampai sekarang tiba di semester lima, di kampus IAIN yang bercat hijau dan mewah (mepet sawah), saya selalu mengamati gerak-gerik organisasi eksternal kampus (Ormek). Mulai dari pengkaderan sampai kisah cinta antara senior dan junior, tak luput dari pengamatan.

Jika Karl Marx berpandangan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah pertentangan kelas antara proletar dan borjuis yang menindas. Tapi lain halnya jika di kampus, sejarah umat kampus adalah sejarah antara Ormek yang mendominasi dan yang tersubordinasi.

Keberadaan Ormek ini cukup membuat saya jengkel. Bukan karena punya dendam pribadi gara-gara diputus anak ormek. Atau alasan lainnya yang sekiranya tidak masuk akal.

Akan tetapi saya melihat, baik Ormek yang paling banyak masanya (mayoritas) dan yang sedikit masanya (minoritas) sama-sama ingin mencari kedudukan di kampus. Saya tak mau sebut merek, pasti sudah tahu sendiri lah. Heheheu. 

Alih-alih memberikan perubahan yang lebih baik untuk kampus, yang ada mereka malah sama-sama bermain dalam lingkaran politik praktis. Benar-benar miris!

Memang sudah bukan rahasia lagi, jika di dalam organisasi internal kampus seperti SEMA, DEMA, HMPS dan lain-lainnya isinya adalah orang-orang dari organisasi eksternal kampus. Itu karena Ormek yang paling mendominasi memprioritaskan rekrutmen dari orang-orang yang se-organisasi daripada memilih orang lain yang kalau dalam ilmu sosiologi dinamakan kelompok out group.

Usut punya usut, mengapa mereka mengutamakan teman sendiri? Ternyata kalau sama teman satu sendiri  yang se-Ormek, lebih memudahkan mereka dalam menjalankan roda organisasi.

Bagaimana tidak, mereka bisa bebas kongkalikong sepuasnya. Kejadian yang seperti itu apakah bukan nepotisme namanya? Ah, gak kepikiran sampai segitunya lah. Kepentingan jauh di atas dari semua-muanya. Huehehehe... ups sorry, keceplosan.

Parahnya jika budaya seperti itu berlanjut dibawa sampai lulus kuliah. Saya berpikirapakah para pejabat di pemerintahan kita yang sekarang ini, mereka yang pernah mengenyam ilmu di di bangku perkuliahan, ketika kuliah dulu ikut Ormek, suka mempraktikkan cara-cara busuk seperti itu. Masuk akal bukan?

Apalagi para senior Ormek yang sudah alumni mau nyalon di DPR, mereka pasti mencari juniornya untuk proyek politik pribadi. Biasanya para juniornya disuruh untuk menjadi tim suksesnya. Bisa masuk jadi tim kampanye atau tim yang menggiring opini publik masuk ke dalam gawang suaranya. Sungguh kerja sama yang sangat ciamik dan penuh intrik.

Lalu bagaimana nasib Ormek minoritas yang selalu tersubordinasi di dalam kampus? Meskipun ruang gerak dan pengaruh mereka tak banyak berdampak. Bisa dibilang nasibnya seperti rakyat proletar yang sedang memperjuangkan kelas dari penindasan kelas borjuis. Maaf kalau pandanganya terlalu manis, eh marxis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun