Aku Marisa, si penagih janji dari perempuan bermulut manis.
Perempuan itu berutang kepadaku. Saban hari kudatangi rumahnya. Tiada jawab selain hening yang merayap, kosong. Kata orang, ia sudah pindah.Â
Aku akan datang lagi, bahkan meski hanya angin yang menjawab salam. Aku yakin arwahnya masih tertinggal di dalam sana. Arwah yang tidak akan kubiarkan tenang sedetik pun.
"Udahlah, sampe kapan mau gini terus, Mbak? Malu sama orang." Itu suara Yayat, adik lelakiku. Ia tidak pernah setuju atas perseteruan ini dan aku tidak perlu izin darinya.
Bagiku utang adalah utang. Persetan dengan orang-orang yang menganggap kepalaku lebih keras daripada batok kelapa. Mereka hanya tidak tahu bagaimana rasanya ditipu.
Perempuan itu membawa kabur uangku yang kutitipkan untuk membeli emas. Ia berjanji untuk membayar. Satu bulan, satu tahun, hingga kini tidak ada kejelasan. Kuanggap utang yang belum dilunasi penuh.
Yayat mencoba menggantikannya dengan uang segepok. Aku berpaling, tidak sudi menyentuh uang yang bukan milikku. Dia tidak ada hubungannya dengan perseteruan ini. Setelah hari itu Yayat tampaknya mulai setuju dengan orang-orang. Bahkan rupanya malu mengakui bahwa aku saudara perempuannya. Wanita yang dijuluki tidak punya pintu maaf.
Biarlah gosip berembus sebagaimana seharusnya. Tidak ada yang perlu kuluruskan. Mereka hanya ingin pendapatnya dibenarkan. Maka jadilah aku terisolasi dari sentuhan sosial. Tidak masalah. Aku masih punya kebun untuk makan.
Sekalipun mereka bergosip bahwa aku menanam kebencian di tanah tersebut, aku  bodoh amat. Aku hanya ingin bertemu perempuan yang sudah membawa kabur uangku. Perempuan yang memilih bersama dengan si lelaki tidak berduit. Andai perempuan itu tidak bodoh, maka segalanya akan baik-baik saja, barangkali begitu.
Adik lelakiku hanya tidak mengerti masalahnya dan dia tidak akan pernah memahaminya.