Pernahkah kau dengar sabda orang mabuk? Butir-butir kalimatnya membuat orang bergidik ngilu, dalam hati bertanya setan apa yang terkandung dalam miras yang ia teguk di warung remang-remang itu hingga membuatnya marah-marah mendengar lagu-lagu religi yang terdengar dari rumah tetangga.
Adalah Abidin, nama pria yang suka berjalan sempoyongan tak kenal pagi, siang, sore, atau malam. Bahkan tidak peduli cuaca sedang cerah, hujan, atau bahkan badai sekalipun. Ia dan miras sudah seperti saudara kembar.
Kadang orang kesal, Abidin suka sekali membuat keributan. Segala tutur katanya yang kontradiktif diucapkannya dengan senyum tidak sadar. Beberapa kali ia hampir jatuh di got depan rumah warga setelah duduk di beton dan mengira tumpukan batako yang dicor itu memiliki sandaran. Di kesempatan lainnya dia benar-benar jatuh dan pingsan hingga harus dibantu keluarkan dari tempat lembab yang membuat seluruh tubuh dan pakaiannya hitam dan bau.
Ia diantarkan ke rumah. Pada istrinya yang bahkan merutuk dalam hati, sampai kapan kiranya dia menerima derita ini. Dulu, yang Halina tahu Abidin adalah pria baik-baik, bekerja sebagai kuli yang rajin dan punya cita-cita optimis, membangun keluarga yang harmonis. Lalu lama-lama pria itu berubah. Entah masalah apa, Halina sudah tidak tahu lagi yang mana. Masalah menombak di kanan dan kiri bahkan hampir merobohkan rumah tangga mereka. Lalu Abidin jadi punya kebiasaan baru, suka curhat pada botol miras dan memarahi bahkan tak jarang memukuli istrinya.
Halina sering kali ingin meninggalkannya, tapi pada siapa dia akan pulang? Di rumah reyot keluarganya yang dihuni oleh ibu, bapak, para kakak dan kakak ipar, serta ponakan-ponakannya? Tidak mungkin. Meski hidup tersiksa dengan Abidin, setidaknya pria itu tidak rewel mengeluh tentang hidup susah. Dari bibir mabuknya itu malah muncul syair-syair gila yang bagi Halina itu lebih baik daripada caci-maki.
Lagipula Halina masih punya cincin emas, satu-satunya yang dia simpan dari buah pernikahan mereka. Jika dibilang, dia sudah tidak mencintai Abidin, yang ada hanyalah rasa kasihan yang kata orang lebih kuat jalinannya daripada rasa cinta. Mungkin iya.
Dia membersihkan pakaian dan tubuh suaminya yang bau. Kadang Abidin merontak, matanya terpejam, tapi mulut bau alkoholnya itu tetap bicara bahwa ia telah hidup di surga.Â
Halina membaringkan Abidin. Dulu, wajah tenang itu yang selalu memberikannya tempat berteduh. Namun, kini berubah menjadi badai yang tiada henti berputar. Adakah Abidin sadar bahwa dia masih punya istri, tetapi istrinya kadang-kadang merasa tidak punya suami?
"Siapa yang akan tahan denganmu selain aku, Abidin?" keluh Halina.
Abidin hanya tergelak tawa meski sang istri menepuk-nepuk lengannya agar segera tidur. Dia sedang terbang, sedang bahagia, sedang menjadi diri sendiri. Itulah kenikmatan yang dia sukai dari alkohol.
Orang-orang kerap menghina atau bahkan meludah jika melihat Abidin lewat. Namun, Abidin mana pernah peduli. Sekalipun orang muntah di depannya, itu bukan urusannya.Â