Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... menulis untuk kenangan

Kita ga bisa jadi matahari pagi buat orang yang bangunnya siang~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kota Ini dan Hubungan yang Aneh

18 April 2025   23:58 Diperbarui: 1 Mei 2025   21:57 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | PEXELS/Анастасия Войтко

Bohong kalau aku bilang tak mengenalnya—lelaki bertopi hitam itu, meski rambutnya kini berantakan dan wajahnya dipenuhi brewok tak terurus. Dulu dia begitu teratur. Sekarang, seperti seseorang yang memutuskan untuk berhenti peduli.  Aku mendadak penasaran bagaimana hidupnya selama ini. Namun, apa peduliku? Itu tidak penting, bukan?

"Udah lama?" tanyanya menyapa. Dia berdiri agak jauh dariku, tapi suaranya masih bisa kudengar jelas.

Ini pertemuan ketiga kami di kota yang sama, tapi di tempat yang berbeda-beda. Hanya saja hari ini dia berani menyapa, bukan sekadar saling menatap canggung seperti sebelumnya.

"Lumayan."

Dia mengangguk. Kami menatap lagi sekolah di depan kami. Jalanan cukup ramai, jadi mungkin keheningan kami tak terlalu canggung . Meski begitu kurasa ini situasi yang cukup aneh. Aku menggigit bibir, berharap keajaiban lekas mencairkan kejanggalan ini. Atau mengakhirinya.

"Kamu .. apa kabar, Sindi?"

Aku menjawab sekadarnya. Tak punya tenaga, dan mungkin juga tak punya keberanian untuk bertanya balik. Namun, tidakkah ada sesuatu yang perlu kami selesaikan? Tentang luka yang terlalu lama dibiarkan, sampai akhirnya menjadi bagian dari kami.  Alasan berpisah dan bahkan kehilangan kontak hingga belasan tahun--saat masih kuliah dan dia pindah ke kota lain. Dia yang meninggalkanku dengan pesan akan kembali, tapi rupanya tidak datang lagi bahkan di hari pernikahanku.

"Aneh nggak sih, Ge? Meski udah lama banget, aku masih bisa ngenalin muka kamu ...?" tanyaku mengupayakan kejujuran itu dengan tawa canggung.

Dia ikut tertawa pelan. Tangannya masih bersidekap di dada. "Bahkan kalau kamu pake masker, aku tetap tahu itu kamu. Mata kamu ... ga pernah berubah. Masih punya cara yang sama buat marah diam-diam."

Kalimat itu membawaku kembali ke masa ketika segalanya masih sederhana . Bagaimana dirinya yang selalu punya jawaban logis dengan nada suaranya yang tetap stabil. Kurasa hal itu yang masih sama darinya. Seseorang yang selalu memuji mata sabitku yang kini dia sendiri tidak berani menatap langsung mata ini.

"Kamu berubah banget, Ge," kataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun