Mohon tunggu...
Fatiya Salsabila
Fatiya Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Sosial dan Revenge Porn

21 Juni 2021   22:46 Diperbarui: 21 Juni 2021   22:54 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era 4.0 dimana semua serba digital, media sosial menjadi alat yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Ada banyak platform, fitur, dan manfaat yang disajikan oleh media sosial sehingga penggunanya bebas memilih untuk menggunakan bentuk yang sesuai dengan keperluan. Dengan hadirnya media sosial, penggunanya menjadi lebih mudah dalam melakukan interaksi sosial tanpa harus bertatap muka secara langsung.

Ditambah dengan kondisi pandemi global virus COVID-19 yang masih belum berakhir, masyarakat dituntut untuk bekerja dan sekolah via daring. Hal ini menjadikan kesempatan memanfaatkan penggunaan media sosial untuk aktivitas sehari-hari meningkat. Bukan hanya media sosial seperti Whatasapp, Line, Instagram, atau Twitter saja. Melainkan juga Youtube, aplikasi konsultasi kesehatan online seperti Halodoc, aplikasi untuk merayakan acara virtual, dan lain-lain.

Dengan kemudahan yang diberikan, membuat siapa saja bisa mengakses media sosial. Baik itu orang dewasa hingga anak-anak yang masih sekolah. Kemudahan ini kemudian menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Kejahatan dunia maya semakin rentan terjadi, contohnya adalah cyberbullying atau penyebaran konten yang mengandung unsur pornografi.

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Pornografi dalam media sosial bukan lagi hal yang baru. Dikutip dari laman KOMINFO, sejak 6 Agustus 2018 lalu, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan operator telekomunikasi dan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) untuk menghilangkan konten berbau pornografi dalam fitur pencarian aman di Internet. Namun, tentu saja gerakan ini tidak serta merta memberantas pornografi di dunia maya.

Meskipun Pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya untuk memerangi pornografi, pengguna media sosial juga dituntut untuk bijak agar tidak menjadi pelaku maupun korban. Korban pornografi sendiri tidak memandang gender dan usia. Bahkan pada beberapa kasus, sang pelaku justru anggota keluarga terdekat atau orang tersayang.

Hal ini sering terjadi dalam kasus Revenge Porn atau penyebaran konten pornografi baik itu foto atau video tanpa persetujuan dengan izin untuk menjatuhkan citra si korban. Biasanya Revenge Porn dilakukan oleh mantan kekasih atau pihak ketiga yang berniat membalas dendam dalam konteks menyalahkan korban (victim-blaming) dan mepermalukannya (slut-shaming).

Menurut Oxford Dictionay, slut-shaming adalah sebuah kontrol sosial yang menstigma (perempuan) karena berperilaku 'liar' dan sensual. Sedangkan victim-blaming adalah tindakan yang menyalahkan korban dengan menganggap bahwa apa yang terjadi pada korban adalah akibat dari tindakannya sendiri. 

Pada kasus revenge porn, kebanyakan yang menjadi korban adalah perempuan dimana ia dipaksa atau diminta oleh pasangan untuk berfoto atau merekam video tanpa busana dengan ancaman atau rayuan seolah-olah demi membuktikan rasa cinta sang perempuan pada pasangannya. Ada pula kasus revenge porn dimana konten pornografi yang diambil tadinya hanya untuk konsumsi pribadi namun kemudian disebarkan sebagai upaya  balas dendam ketika terjadi perseteruan.

Dilansir dari situs komnasperempuan.go.id dalam Catatan Tahunan tahun 2019, tercatat ada 97 kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber atau dunia maya yang telah dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kekerasan terhadap perempuan tersebut termasuk diantaranya adalah revenge porn sebanyak 33%. Angka tersebut melejit hingga 348% dari 490 kasus di tahun 2019 menjadi 1.425 kasus di tahun 2020. Jumlah ini tentu saja hanya berupa puncak gunung es, dimana masih banyak kasus lain yang tidak terdeteksi.

Ada banyak korban yang enggan melaporkan kasus yang telah dialaminya pada pihak yang berwajib seperti aparat penegak hukum. Menurut Husna Amin selaku pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) yang dilansir dari BBC Indonesia, korban juga sering tidak memiliki support system yang baik dari keluarga maupun teman dan kerabat untuk mendukung kondisi korban. Ditambah lagi proses hukum yang panjang dan tidak berpihak pada perempuan, membuat korban ketakutan akan dipidana atas dasar UU Pornografi dan UU ITE.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun