Mohon tunggu...
adelia fatin
adelia fatin Mohon Tunggu... -

Anak kedua dari tiga bersaudara, menyukai fashion dan photography- diphoto maksudnya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sengkarut Penegakan HAM Era Jokowi

8 Desember 2016   18:46 Diperbarui: 8 Desember 2016   18:55 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita patut menyesalkan sepak-terjang pemerintah yang seolah-olah meletakan penegakan HAM sebagai isu pelengkap semata. Jokowi tampak galak di aras pembangunan infrastruktur –kendati harus ditelisik apakah hal itu benar-benar inisiasi Jokowi atau warisan dari pemerintah masa lalu- tetapi seolah-olah “tutup mata” dengan penegakan HAM. Ia terkesan tebang-pilih.

Alih-alih mengutamakan pengadilan HAM yang sesuai dengan mekanisme UU No. 26 tahun 2000, Jokowi malah menawarkan rekonsialiasi oleh para pelaku pelanggaran HAM berat. Niat ini sejatinya elok. Tetapi, rekonsiliasi tanpa pengunggapan kebenaran pada hakikatnya merupakan tindakan yang mencederai keadilan para korban.

Kontras mencatat, sepanjang 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK telah terjadi 300 insiden kekerasan atas ekspresi kebebasan fundamental yang seharusnya dilindungi oleh UUD 1945, UU HAM, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, serta aturan hukum yang berlaku lainnya. Selanjutnya, di tahun 2016, tercatat terjadinya 108 kasus penyiksaan yang terjadi justru di kantung-kantung penegak hukum.

Tragisnya, Jokowi seolah-olah tutup mata dengan pelanggaran hak bermukim warga di DKI Jakarta, daerah yang ditinggalkannya sebelum didaulat sebagai Presiden RI. Tentu kita tidak lupa dengan salah satu tujuan Jokowi maju Pilpres, ketika itu ia menyebut masalah di DKI Jakarta akan lebih mudah diselesaikan jika dirinya berkantor di Istana Negara. Nyatanya?

Mengutip catatan LBH Jakarta, sepanjang Desember 2015, ditemukan terjadinya 113 penggusuran paksa dengan 8.145 KK dan 6.283 unit usaha yang terdampak. Bahkan 64% (72 kasus) penggusuran paksa di Jakarta dibiarkan tanpa solusi. Memang ada 28% (32 kasus) yang dilanjutkan dengan relokasi, tetapi hanya 18 kasus yang memenuhi kriteria layak, 5 kasus relokasi tidak layak, dan sementara 9 kasus hanya merelokasi sebagian warga yang menjadi korban penggusuran. Dari 9 kasus yang mendapat ganti rugi, hanya 5 kasus yang tergolong layak.

Jokowi seolah-olah membiarkan Basuki Tjahya Purnama, penggantinya sebagai Gubernur  Jakarta, menghadap-hadapkan rakyat dengan polisi-TNI. Dari 113 penggusuran, tercatat 84% kasus dilakukan tanpa melalui prosedur musyawarh, yang pelaksanaanya melalui kekerasan yang berlebihan dengan melibatkan polisi (67 kasus) dan TNI (65 kasus). Sayangnya, belum ada publikasi data tahun 2016, tetapi LBH Jakarta mencatat bahwa rencana penggusuran tahun 2016 meningkat 3 kali lipat dari tahun 2015.

Kondisi yang sama juga ditemukan di Majalengka, Jawa Barat. Baru-baru ini telah terjadi aksi kekerasan kepada warga Desa Sukamulya yang menolak lahannya diukur, dan kemudian akan digusur, untuk pendirian Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Aksi damai ini ditanggapi dengan 1.500 personil gabungan TNI, polisi dan satpol PP. Akibat bentrok dan penembakan gas air mata, tercatat 11 warga terluka dan 8 orang ditahan polisi. Sampai sekarang, tidak ada pernyataan resmi Jokowi perihal aksi-aksi kekerasan ini, atau trend kesembronoan Kepala Daerah yang membentur-bentukan polisi-TNI dengan rakya ini.

Tersingkirnya isu penegakan HAM di era pemerintahan Jokowi ini bukan isapan jempol. Sebelum rilis  Kontras, pada Desember 2015, Setara Institute mencatat bahwa Indeks kinerja HAM pemerintahan Jokowi stagnan. Peneliti Setara Institut menyimpulkan bahwa setelah satu tahun berjalan, janji kemajuan di bidang penegakan HAM baik yang tercatat pada Nawacita, RPJMN maupun rencana kerja pemerintah tidak kunjung terealisir. Bahkan, sebelumnya, Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai sempat menuding pemerintah Jokowi melakukan pembiaran terhadap kasus kematian 41 anak di distrik Mbuwa Kabupaten Nduga Papua.

Jokowi masih punya waktu tiga tahun lagi, masih cukup panjang untuk membenahi penegakan HAM di tanah air. Hentikan strategi menenangkan publik dengan cara-cara instan dan kilat. Nyali besar bukan dibuktikan dengan aksi payung biru menuju lautan manusia di Monas, yang seharusnya bisa dicegah jika sedari awal presiden mau bertindak cepat dan bukannya tarik-ulur.

Sudah saatnya Jokowi mengoreksi gaya kepemimpinanya yang kental aroma politik pencitraan. Slogan “kerja, kerja, kerja” harus dituangkan dalam bukti nyata, bukan sekadar festival selfie untuk mengesankan publik bahwa pemerintah sedang bekerja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun