Sabtu malam, 22.30 , aku masih memandangi infus yang terhubung ke tanganku. Ada rasa sedih, syukur sekaligus sesal. Meski sakit, aku beryukur, paling tidak aku sudah mulai bisa berdamai dengan diriku sendiri seperti pesan Dewi.
Rumah sakit ini tidak begitu besar. Namun, cukup bersih dan asri. Aku berada di pavilyun  Krisan.
Jam dinding terus beranjak naik dan aku takbisa pejamkan mata. Memoriku terus  flash back akan hari-hariku bersama Dewi seorang arsitektur  cantik yang kukenal satu tahun lalu.
Aku seorang mahasiswa semester akhir di sebuah kota di  Malang. Aku asli Ponorogo dan di Malang satu kos dengan Dewi Tirtasani.
   Gadis  cerdas dan cantik ini. banyak pengagumnya, ia juga memiliki seabrek kegiatan. Walau begitu ia takpernah keteteran soal waktu. Gerakannya gesit, cara mengambil keputusan juga cepat. Itulah yang membuat aku juga sangat menyukainya.
   Kami selalu melaui hari berdua, kalau aku sedang menyiapkan Program kerja karena aku juga sambil kerja di perusahaan kecil di Malang, dia juga asik menggambar sketsa rumah, taman, apa saja terkait dengan arsitektur. Kesukaan music kami sama, makanan favorit kami sama, bahkan bintang film kesayangan kami juga sama. Tepatnya, apa yang menjadi kesukaan Dewi, pasti aku jadi menyukainya.
  Tiga bulan sudah pertemanan kami terjalin akrab. Aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Aku  memiliki kecemburuan yang sangat kuat dan liar kalau melihat Dewi menerima telepon dari temannya.  Pokoknya apa saja yang dilakukan Dewi dengan sangat bahagia tanpa melibatkan aku. Maka aku akan sangat cemburu dan geram. Beruntung selama itu aku masih bisa menyimpan cemburuku.
   Hingga beberapa bulan berikutnya, aku sudah mulai cerita pada Dewi, kalau aku ngga pernah tertarik dengan cowok. Namun,Dewi nggak kaget sama sekali . Bahkan dewi seperti memahami aku. Memang dia perempuan cerdas, ia sering memberi tahu aku, bahkan juga memberiku bacaan yang bermutu terkait perilaku Lesbi, Gay, biseksual, dan transgender (LGBT) aku terima, dan nggak pernah kubaca. Aku hanya pura-pura membaca di depannya sekedar menyenangkannya. Hingga pada suatu saat.
   Hari minggu waktu itu, cuaca sangat cerah. Dewi sedang mandi, tampaknya dia mau ada acara ke luar. Hanfonnya berbunyi, karena penasaran dan  cemburu, aku angkat hanfonya. Ternyata dari seorang cowok. Gery, ya aku pernah dengar beberapa kali Dewi bercerita tentang Gery. Meskipun aku tidak begitu peduli dengan ceritanya, aku masih ingat namanya.
   " Hallo .." aku membuka percakapan
  " Eh, Dew, kok suaramu beda, ini Dewi bukan sih?" tanyanya