Perjalanan ini dimulai dari pagi yang biasa di Stasiun Rangkasbitung. Suasana masih belum terlalu padat, udara pun belum terlalu panas. Aku naik kereta, membawa harapan sederhana untuk menikmati satu hari yang penuh cerita meski hanya bersama diriku sendiri dan buku berjudul Once Upon A Broken Heart yang menemani.
Dari Rangkasbitung, aku transit dua kali, yang pertama di Stasiun Tanah Abang, lalu lanjut ke Manggarai. Aku cukup menikmati momen-momen di kereta, mengamati wajah-wajah orang yang berlalu-lalang. Ada yang terburu-buru, ada yang sibuk dengan ponselnya, dan ada juga yang seperti aku. Terdiam, tapi mengamati.
Akhirnya, kereta membawaku ke Stasiun Jakarta Kota. Langkahku turun dengan semangat kecil yang tumbuh. Tapi sebelum menjelajah lebih jauh, perut perlu diisi dulu. Jadi aku mampir ke Indomaret terdekat, membeli air mineral dan sosis siap santap, memang bukan sarapan mewah, tapi cukup untuk membuatku tersenyum.
Destinasi pertamaku adalah Museum Bank Mandiri, museum terdekat dari stasiun. Bangunannya klasik dan penuh karakter, cocok sekali untuk tempat bersejarah. Sayangnya, Museum Bank Indonesia yang ada tak jauh dari sana sedang tutup. Sedikit kecewa, tapi tidak menyurutkan semangatku.
Lapar mulai datang menjelang siang. Aku berjalan menuju bangunan Toko Merah, sebuah spot cantik yang menyimpan banyak cerita masa kolonial. Di sana aku mampir makan siang di Rode Winkel memesan jus mangga segar dan sepiring spageti. Menikmati makanan sambil memandangi arsitektur tua yang megah, rasanya seperti melompat ke masa lalu yang diam-diam masih hidup.
Perjalanan berlanjut ke Museum Wayang. Dari sekian banyak koleksi di sana, hatiku langsung tertambat pada adegan Rama dan Sinta dalam bentuk wayang yang tersusun indah menjadi 10 bagian cerita. Setiap sin-nya punya rasa, punya jiwa. Seolah aku bisa membaca cinta, pengorbanan, dan keberanian dari bayangan-bayangan itu.
Lalu aku melangkah ke Museum Fatahillah. Di sini aku merasa seperti kembali ke buku sejarah saat sekolah. Bedanya, kali ini aku melihat langsung seperti mata uang VOC, peta-peta lama, dan peralatan kolonial yang pernah hanya jadi gambar di pelajaran IPS. Semua terasa lebih nyata. Lebih dekat.