Mohon tunggu...
Fathya Rochibatul K
Fathya Rochibatul K Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Wake Up and Be Awesome Ilmu Komunikasi '20

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menilik Keadaan Pengrajin Genteng di Masa Genting

25 April 2021   16:20 Diperbarui: 25 April 2021   21:50 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anak-anak pengrajin genteng / dokpri

Usia Judi Ginarso sudah menginjak kepala tujuh. Namun tenaganya sekuat anak-anak muda. Tangannya yang sudah keriput masih lihai mencetak tanah liat untuk dijadikan genteng. Bersama dengan pujaan hatinya, sang istri bernama Giniarti, mereka bahu membahu menjalankan bisnis pergentengan ini. Jatuh bangun mereka lalui bersama sampai tiba kalanya keadaan dunia dilanda kegentingan.

Hadirnya tamu tak diundang bernama Covid-19 tidak hanya mematikan makhluk hidup, namun juga mematikan UMKM di seluruh dunia. Di tahun 2021 Covid-19 sudah merayakan ulang tahunya yang ke-satu. Covid-19 makin berjaya, sementara negara makin edan dan pasrah dihajar habis-habisan oleh pandemi yang tak berujung.

Desa Berjo Kulon, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta terkenal akan produk soka gentengnya. Sebagian besar penduduknya memang bermata pencaharian sebagai pengrajin genteng. Dan di sinilah sepasang suami istri tadi berumah. Saat ditemui di sekitar pembakaran genteng, orang Jawa menyebutnya tobong, indra penglihatan saya langsung tertuju pada sesosok paruh baya yang sedang bergulat dengan tungku panas.

potret sepasang suami istri pengrajin genteng / dokpri
potret sepasang suami istri pengrajin genteng / dokpri

Kebiasaannya yang terlaku fokus membuat ia seolah-olah abai akan hadirku. Untung saja istrinya sempat melayangkan pandang kepadaku saat memarkir motor matik hitam di pekarangannya. Dengan secepat kilat beliau menyambar lengan tenganku sembari menawarkan untuk singgah sejenak di gubuk sederhana mereka, menanti kedua paruh baya itu merampungkan pekerjaannya.

Setelah beberapa menit tenggelam dalam keheningan, samar-samar terdengar dehaman kecil mengiringi langkah kaki sesorang. Dengan posisi duduk bersila diatas ubin dingin Judi mulai menyapaku, “Kabare piye nduk? Apik ta?” Aku hanya mengangguk pelan sambil melayangkan senyum kecilku. Kulihat sudut bibirnya perlahan naik keatas.

Aku mulai angkat suara, “Mbah, usaha gentengnya lancar ta?” Beliau mengusap kepalanya yang sedikit plontos, “Waduh rejekinya lagi macet di tengah jalan nduk, hahaha.” Aku merasa kelakar ini sangat familiar bagiku. Bisa dibilang aku ini sangat akrab dengan pasutri ini, setiap pulang sekolah kusempatkan diri mampir walau sekedar, “Say hi!” Karena aku anak yang terbilang cukup aktif, setiap libur sekolah kutinggalkan rumah hanya untuk sekedar membantu pekerjaan mereka.

Karena sudah terbiasa, tak khayal aku hafal dengan tindak tanduk ini, sangat khas melekat pada diri Judi. Dibalik haha hihi itu, pasti tersembunyi seribu makna yang tidak bisa diumbarnya.

Dulu sebelum Covid-19 menyerang, rumah Judi penuh sesak dijejali oleh calon pembeli genteng. Ada yang sekedar melihat-lihat, menawar harga, hingga ada yang sudah membawa segepok uang tunai. Kuperhatikan senyuman Judi tidak pernah luntur saat melayani calon pembeli, sampai-sampai aku berpikir “Apa pipinya tidak kram karena tersenyum terus-terusan?”

Semenjak diumumkan kasus pertama Covid-19 pada bulan Maret 2020 oleh presiden Joko Widodo, pemerintah dengan gencarnya menyerukan pemberlakuan PSBB di seluruh penjuru Indonesia. Semua tempat umum ditutup, protokol kesehatan dijalankan secara ketat, serta tidak boleh berkerumun.

Kini sorot bola mata yang tadinya berbinar-binar serta senyum hangat yang kerap ia pancarkan kian meredup. Istrinya, Giniarti, yang sedari tadi turut menyimak obrolan singkat tadi hanya bisa tertunduk lesu. Sembari menyondorkan segelas es teh manis ia menghela nafas panjang, “Ya bagaimana lagi? Harganya sudah dimiring-miringkan tapi tetap saja tidak ada permintaan masuk. Iya to Pak?”

Judi tersenyum getir, ia mulai menjelaskan bahwa permintaan genteng saat ini anjlok karena proyek-proyek pembangunan sedang dihentikan imbas dari  pemberlakuan PSSB. Beliau juga menambahkan bahwa industri genteng miliknya tergolong kecil yang hanya dikelola bersama istrinya saja.

Dulu sebelum pandemi ia bisa menjual sekitar 6.000 genteng dalam sebulan dengan harga Rp 2.000/biji. Namun saat ini harga dan permintaan cenderung terjun bebas. Yang tadinya memproduksi ribuan genteng dalam sebulan kini menyusut menjadi ratusan saja, dengan kisaran harga Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per biji.

Walaupun usahanya sedikit sepi Judi tetap bersyukur dengan keadan saat ini, “Selagi dapur masih bisa mengepul, ya alhamdulillah. Semoga situasi segera membaik biar simbah ada kerjaan terus.” Tentu saja kedua pasutri ini tidak sendirian dalam menghadapi tahun pagebluk Covid-19. Keempat putra-putrinya sudah menyiapkan barikade demi kelangsungan Judi dan Giniarti.

giniarti menyiapkan santap siang / dokpri
giniarti menyiapkan santap siang / dokpri

Sebetulnya masih ada pertanyaan, mengapa genteng Judi masih tetap eksis? Ini semua berkat buah hatinya yang turun tangan dalam mempromosikan hasil buah tangan, genteng, Judi di media sosial. Dikit demi sedikit permintaan genteng mulai naik meski tidak drastis amat.

Pasutri ini sepakat apapun keadaan yang terjadi, tak ada niatan sekecilpun gulung tikar. Di usia yang senja, tekat dan semangat mereka patut diacungi jempol. Sebagai cucu, aku sangat bangga dengan mereka. “Saya tidak mau terlalu bergantung pada anak-anak, selagi masih mampu kenapa tidak?” tutup Judi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun