Mohon tunggu...
Fathur Novriantomo
Fathur Novriantomo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Seringnya menulis soal film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balada Huru-Hara di Mata Si Orang Gila

12 Oktober 2020   23:33 Diperbarui: 12 Oktober 2020   23:46 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di ujung jalan, tepatnya di sebuah emperan pertokoan elektronik yang kini telah hancur itu, Si Orang Gila terdiam dengan tatapan kosong, memegangi perutnya yang terlihat kering kerontang. Di hadapannya, terlihat beberapa warga pemilik toko mulai keluar dari toko-tokonya. Sebagian ada yang menangis, sebagian berpelukkan, dan hampir semua mengucap syukur masih bisa menghirup udara di hari itu. Semua warga keturunan tionghoa tersebut bergegas mengemas barang dan pergi dari tempat itu, termasuk Ci Nani yang biasanya memberi ia makanan setiap pagi. Ternyata sebungkus nasi dan kikil yang Si Orang Gila makan 2 hari yang lalu menjadi pemberian terakhir Ci Nani sebelum ia pergi.

Huru-hara yang baru saja terjadi, bagaikan pertunjukkan sirkus yang tragis di mata Si Orang Gila. Sepanjang aksi perampokan dan penjarahan toko tadi, ia hanya duduk diam di ujung jalan menyaksikan, mencoba mencerna apa yang terjadi. Orang-orang yang terlibat kekacauan tadi pun tidak ada yang memperdulikannya. Suara pecahan kaca, pintu toko yang ditendang dan teriakan "Mati lo cina!" masih melekat di pikiran Si Orang Gila. Kini ia sendirian di sektor kecil pertokoan itu. Semua toko hancur dan para pemiliknya telah mengungsi. Si Orang Gila itu hanya ditemani perutnya yang cerewet meminta asupan.

Satu hari berlalu, Si Orang Gila itu menelusuri tempat-tempat di bagian lain sudut kota yang kini juga telah hancur dan sepi. Lingkungan itu terlihat kelam dan menyedihkan, semua tokonya kosong dan hanya dipenuhi pecahan kaca, puing-puing batu dan etalase-etalase yang penyok. Perasaan Si Orang Gila itu menangkap sebuah rasa yang sama dengan lingkup pertokoan Ci Nani dan warga lainnya. Ia merasa beruntung akhirnya menemukan  sebungkus nasi kuning yang tersisa sedikit di sebuah tong sampah, walau baunya cukup menyengat dan rasanya sudah asam. Saat sedang menikmati hidangan basi itu, terdengar suara-suara teriakan segerombolan orang dan seruan yang keluar dari sebuah pengeras suara. Namun si Orang Gila itu tidak memperdulikannya dan melanjutkan santapan makan siang yang sedikit itu.

Dinginnya angin malam membuat Si Orang Gila itu memuntahkan nasi kuning yang tadi siang ia makan. Kini perutnya terasa mual sekali dan kosong. Ia hanya mampu membungkus tubuhnya dengan kaus dekil yang robek pada bagian depan dan belakangnya. Si Orang Gila itu memutuskan kembali berkelana sembari mencari makan dan tempat untuk tidur. Di sebuah tempat yang lumayan dekat dengan pusat kota, ia melihat kondisi jalan yang sangat kacau. Penuh dengan sampah, ban yang telah hangus terbakar dan spanduk-spanduk bekas demonstrasi. Para tentara dan polisi dengan mobil-mobil barakudanya masih terlihat bersiaga di depan sebuah kantor pemerintahan. Orang Gila itu kebingungan, ia tidak melihat sampah bekas makanan ataupun toko-toko yang masih menjajakan makanan. Semua hanya kekacauan yang terlihat di matanya. Kepalanya mulai pusing dan Langkah kakinya mulai lemas. Ia memutuskan untuk tidur di sebuah emperan toko yang dipenuhi pecahan kaca, dan menyelimuti tubuhnya dengan spanduk bekas demonstrasi.

Hentakan kaki para demonstran dan teriakan-teriakan keras mereka membangungkan Si Orang Gila dari mimpinya. Si Orang Gila bangun dengan kepala yang berat dan perut yang terasa sangat kosong. Kini dihadapannya telah ramai para demonstran dengan berbagai atribut demonstrasi seperti spanduk-spanduk besar, bendera yang tegak diatas tongkat, dan pengeras suara yang menjadi komando utama.  Mereka semua menyorak keras sebuah permintaan yang sama, yaitu agar Si Presiden segera turun dari jabatannya. Si Orang Gila berusaha keras mencerna apa yang terjadi, namun isi pikirannya hanya makanan dan makanan saja. Di kejauhan, terlihat sekompi prajurit dengan senjata dan tamengnya bersiap untuk menghadang. Tak butuh waktu lama, para demonstran dan prajurit itu baku hantam. Semua berlari ingin melawan.

Si Orang Gila menyaksikan huru-hara tersebut dari emperan toko. Ia hanya bengong melongo melihat keributan tersebut. Senjata-senjata mulai ditembakkan, dan benturan kaki para demonstran dengan tameng-tameng para prajurit menimbulkan harmoni yang memekakkan telinga. Dari pemandangan huru-hara tersebut, hanya Si Orang Gila yang terabaikan. Duduk diam memegangi perutnya sembari menyaksikan diorama keributan antara rakyat dan aparat. Sampai pada suatu ketika, para demonstran dihujani tembakan gas air mata, yang salah satunya mendarat di dekat si Orang Gila. Ia masih bengong melihat gas yang keluar begitu deras, sampai akhirnya mata Si Orang Gila terpejam perih, tidak mampu menyaksikan aksi demonstrasi lagi.

Semua berlarian menjauh, termasuk Si Orang Gila yang berusaha keras membuka matanya yang perih sembari masih berlari-lari kecil dan memegangi perutnya yang kosong. Langkah kaki yang terseok, dan pecahan kaca yang turut menusuk telapak kakinya, tidak ia rasakan lagi. Ia bergabung dengan para demonstran yang beberapa lari menjauh dari panggung pertunjukkan demonstrasi itu. Kepalanya semakin pusing, Langkah kakinya semakin lemas, akhirnya ia menepi di pinggir jalan besar, terkapar sebentar berusaha memandang langit yang terik. Ia mulai bisa membuka matanya, melihat siluet-siluet demonstran yang kembali berlari melawan sambil menyorakkan kata "Lawan!". Sedangkan mulutnya hanya bisa mengatakan satu kata dengan lirih, "Makan"

Kerusuhan itu semakin kalut, para prajurit mendobrak kawanan demonstran dengan mobil-mobil barakudanya yang sangar, diikuti sekompi prajurit lain dibelakangnya yang lengkap dengan laras panjang dan tameng. Para demonstran masih berupaya keras walau mereka kalah kekuatan. Si Orang Gila itu masih menyaksikannya dari jauh, kegilaan demonstrasi itu malah membuat nalurinya waras untuk sepersekian detik. Ia berpikir bahwa ia beruntung karena hanya orang gila lah yang tidak diserang ketika demonstrasi terjadi. Hanya saja, yang waras maupun yang gila turut ikut menjadi korban dari  semua kekacauan yang ditimbulkan rezim pemerintahan.

Diadaptasi dari cerpen yang berjudul "Hikayat Si Orang Gila" pada buku "Corat-Coret di Toilet" karya Eka Kurniawan (Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun