Mohon tunggu...
Fatkhur Rahman
Fatkhur Rahman Mohon Tunggu... Freelancer - Penerjemah Lepas EN >< ID

Penerjemah Lepas EN >< ID

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pemerintah Pusat Memohon Judicial Review Perda?

8 Juni 2018   14:51 Diperbarui: 8 Juni 2018   15:05 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gejala tumpang tindih dan gemuknya regulasi di Indonesia mengundang perhatian berbagai pihak, termasuk Presiden Joko Widodo, karena masalah ini berdampak negatif terhadap investasi. Para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya karena birokrasi yang berbelit-belit dan lamanya waktu perizinan. Padahal, ekonomi Indonesia digerakkan salah satunya oleh investasi (Sumber, 19 Februari 2018). 

Berdasarkan data tahun 2000 hingga 2015, tercatat ada kurang lebih 504 undang-undang, 27 peraturan pemerintah pengganti undang-undang, 1386 peraturan pemerintah, 1129 peraturan presiden (Diani Sadiawati, 2015), serta tiga ribuan peraturan daerah provinsi dan dua puluh lima ribuan perda kabupaten/kota (Zainal Arifin Mochtar, Perihal Menata Regulasi, 18 Februari 2018).

Terkait dengan perda, masalah ini kian rumit setelah Mahkamah Konstitusi menghapus kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan perda dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan 56/PUU-XIV/2016. Putusan lembaga pengawal konstitusi tersebut menegaskan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU merupakan domain Mahkamah Agung dan pemerintah pusat hanya dapat mengawasi perda melalui mekanisme preventif (executive preview) sebelum diundangkan.

Tulisan ini akan membahas kedudukan hukum (legal standing) pemerintah pusat untuk mengajukan permohonan judicial review perda ke Mahkamah Agung.

Legal standing pada awalnya hanya dikenal dalam ranah hukum privat dan kemudian meluas hingga hukum publik. Legal standing dapat diartikan sebagai hak gugat atau hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat. Legal standing bersumber dari prinsip "tiada gugatan tanpa kepentingan hukum" dan merupakan hal yang penting dalam judicial review. Tidak semua warga masyarakat atau orang atau badan dapat mengajukan judicial review (Imam Soebechi, 2016: 179).

Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menentukan bahwa permohonan judicial review di MA hanya dapat diajukan oleh: a) perorangan warga negara Indonesia; b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU: atau c) badan hukum publik atau badan hukum privat. Lebih lanjut, Pasal 1 ayat (4) Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil mengatur bahwa "Pemohon adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang".

Di sisi lain, Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi memberikan hak untuk mengajukan judicial review kepada: a) perorangan warga negara Indonesia; b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU: c) badan hukum publik atau badan hukum privat; atau d) lembaga negara. Dengan membandingkan ketentuan tentang legal standing dalam kedua UU tersebut, cakupan legal standing dalam judicial review di MK lebih luas karena memasukkan lembaga negara.

Menurut Ni'matul Huda (2013), sebagaimana dikutip oleh Puguh Windrawan (2014: 91-92), lembaga negara dibagi dalam dua kategori, yaitu lembaga negara yang dibentuk atas perintah UUD (constitutionally entrusted power) dan lembaga negara yang keberadaannya berdasarkan UU (legislatively entrusted power). Berdasarkan pengelompokan itu, pemerintah pusat, dalam hal ini presiden, termasuk lembaga negara yang eksistensinya diatur dalam UUD sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara.

Namun, perbandingan UU MA dan UU MK tidaklah cukup untuk menentukan apakah pemerintah pusat memiliki legal standing dalam pengujian peraturan perundang-undangan di MA. Hak pemerintah pusat untuk mengajukan permohonan judicial review di MA juga harus dilihat dari status badan hukumnya. Menurut Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah "badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain" (Imam Soebechi, 2016: 213). Pengertian badan hukum juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai "subjek badan-badan yang tidak lain adalah badan atau organisasi yang berisi sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama dan dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan yang sama, melalui mana hak dan dan kewajiban mereka sebagai pribadi untuk hal-hal yang tertentu diserahkan sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban badan hukum yang bersangkutan" (ibid).

Badan hukum dapat dibagi berdasarkan penggolongan hukum, yaitu golongan hukum publik dan hukum perdata, sehingga badan hukum dapat dibagi ke dalam badan hukum publik dan badan hukum perdata. Menurut Van der Grinten, badan hukum publik (publiekrechterlijke rechtpersonen) adalah badan hukum yang organisasi dan strukturnya dikuasai oleh hukum publik, yaitu hukum tata negara dan hukum administrasi negara, tetapi kebadanan hukumnya pada prinsipnya juga berlaku hukum perdata, kecuali UU menentukan lain, dalam hal ini ialah apabila badan-badan hukum publik itu menjalankan tindakan dalam rangka kepentingan umum. Adapun badan hukum privat (privaatrechterlijke rechtpersonen), menurut Jimly, adalah apabila badan hukum itu organisasi dan strukturnya dikuasasi oleh hukum perdata (ibid).

Klasifikasi badan hukum publik dan badan hukum privat juga dapat ditentukan dari kewenangan kebijakannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Arifin P. Soeria Atmadja, badan hukum publik berwenang mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum seperti undang-undang perpajakan atau yang tidak mengikat umum seperti anggaran pendapatan dan belanja negara. Sementara itu, badan hukum perdata tidak berwenang mengeluarkan kebijakan publik yang bersifat mengikat masyarakat umum (Jimly Asshiddiqie, 2006: 81-82).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun