Pada Selasa siang yang terik itu (12/4), Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri tampak lebih ramai daripada biasanya. Di gedung yang terletak di area Universitas Gadjah Mada tersebut diselenggarakan diskusi bertajuk Proses Kreatif Eka Kurniawan. Nama besar penulis novel Cantik Itu Luka seakan menjadi magnet yang menarik antusiasme para penikmat karya sastra.
Dimoderatori oleh Mahfud Ikhwan, acara diskusi berjalan santai. Para hadirin mendengarkan pemaparan Eka sambil menikmati kudapan yang disediakan panitia.
Eka mengawali presentasinya dengan mengatakan bahwa proses kreatif tiap karya bisa berbeda-beda. Ia lalu menampilkan slide yang berisi potret pahlawan nasional. Dalam deretan figur yang dianggap berjasa, mayoritas adalah orang-orang dengan latar belakang militer. Dominasi juga terlihat dari banyaknya laki-laki. Hanya ada  3 perempuan: Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan Raden Ajeng Kartini.
Dalam slide berikutnya, lulusan Fakultas Filsafat UGM itu menampilkan lukisan Pangeran Diponegoro yang dibuat Raden Saleh. Bagi Eka, lukisan itu adalah suatu cara yang berbeda untuk menceritakan sejarah Indonesia. Lukisan itu juga menunjukkan subjektivitas karena masa lalu digambarkan dengan rivalitas elite antara Diponegoro dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Peran elite yang dominan juga dapat ditemui dalam Tetralogi Buru. Dikisahkan bahwa Minke adalah anak seorang bupati yang bersekolah di kampus kedokteran. Tokoh lain, Nyai Ontosoroh, awalnya hanya rakyat biasa. Namun, ia mampu naik kelas. Konflik dalam Mahabharata juga menunjukkan pertarungan elite antara Pandawa versus Kurawa, meskipun  ada sosok rakyat kecil dalam diri Punakawan.
Sudut pandang yang berbeda ditawarkan oleh novel populer pada era Orde Baru. Di dalamnya rakyat jelata tampil sebagai pusat cerita. Namun, novel populer bersifat apolitis, sehingga melahirkan generasi yang apolitis pula.
Dalam bagian akhir presentasinya, Eka mengatakan bahwa sejarah bisa diceritakan dengan cara yang berbeda dan dengan berbagai perspektif. Kembali pada potret pahlawan yang ditampilkan di bagian awal, perspektif tentang pahlawan bisa berubah setelah seseorang membaca karya sastra. Bahwa pahlawan tidak sebatas orang-orang yang ditetapkan dengan keputusan presiden atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara.