Mohon tunggu...
Fathorrasik
Fathorrasik Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumenep

MENGALIR SEPERTI SUNGAI YANG MENGARAH PADA SAMUDERA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin Cinta

13 Oktober 2021   20:35 Diperbarui: 13 Oktober 2021   20:59 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari Markoya menemui sahabat sekaligus guru spiritualnya, Mukidi. Kedatangan Markoya hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang selalu ceria dengan berbungkus-bungkus rokok terselip di saku bajunya. Hari ini Markoya datang dengan wajah yang kusut, tergambar jelas beban berat menyelimuti hatinya. 

Seperti biasa seminggu sekali Markoya selalu menyempatkan diri bertamu dengan Mukidi. Tidak ada materi khusus yang perlu diperbincangkan dengan serius. Ngalor ngidul hingga larut malam. Bahkan, kadang obrolan dan candaan terhenti hingga saat adzan subuh berkumandang. Tak terhitung berapa 'ceret' kopi dan berapa bungkus rokok yang habis dalam semalam.

Kebiasaan itu rutin dia lakukan tanpa ada motivasi yang jelas. Mungkin, hanya sekedar merefresh kejenuhannya setelah seminggu menjalani aktivitas yg monoton di kantor. Atau, bisa saja sekedar menghindari omelan istrinya di rumah. Hehehe.

Melihat wajah Markoya yang tidak biasa, Mukidi mencoba menyibak suasana batinnya. 

"Ada apa kamu, Mar?"

"Gak ada apa-apa, Guru" jawab Markoya dengan suara agak ditekan.

"Halaaaah... mulutmu bisa saja berbohong, tapi wajah dan suaramu tidak bisa membohongiku", ungkap Mukidi dengan tatapan tajam, seolah ingin menelanjangi hati Markoya.

Mendengar ungkapan Mukidi yang penuh wibawa itu, Markoya tidak bisa menyembunyikan kegundahan yg mengganjal hatinya.

"Begini, Guru... Terus terang selama ini saya beribadah terasa hambar, tidak ada rasa didalamnya. Mohon bimbingan, Guru...", Ungkap Markoya dengan suara memelas.

"Hahaha...aku bisa apa, Mar. Sama saja aku pun begitu", jawab Mukidi datar.

"Jika njenengan saja begitu, lalu bagaimana dengan orang semacam saya? Saya sangat yakin njenengan pasti bisa membimbing. Bukankah Njenengan pernah bilang, beragama itu tidak cukup ber-Iman dan ber-Islam saja tanpa ber-Ihsan. Bimbinglah saya dalam ber-Ihsan, Guru! Sebab jika tidak, Gurulah yang bertanggungjawab terhadap ketidak sempurnaan beragama saya", lanjut Markoya memelas.

Ungkapan Markoya seperti cambukan halilintar memecah batin Mukidi. Butiran keringat terlihat dikerut dahinya yang bersih. Suasana hening. Masing-masing bergumul dengan kecamuk batinnya sendiri.

"Mar, apakah kamu punya pengalaman mencintai seseorang?" suara Mukidi memecah keheningan.

"Mengapa, Guru? Apa hubungannya dengan rasa hambar saya dalam beribadah?"

"Begini, Mar. Rasa hambar itu karena ketiadaan rasa cinta antara hamba dan Tuhannya. Lalu bagaimana aku harus menjelaskan rasa cinta itu, jika kamu tidak punya pengalaman mencintai? Sesempurna apapun seseorang menjelaskan rasa cinta, tetap tidak akan mampu mengungkapkan hakikatnya. Apakah kamu mampu menjelaskan rasa manis tanpa mencicipi gula? Sejuta kata yang kamu ungkapkan untuk menjelaskan rasa manis tetap tidak akan mampu menunjukkan hakikat manis itu sendiri tanpa mencicipinya sendiri".

Markoya menunduk meraba batinnya sendiri, tanpa memberikan sapatah katapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun