Mohon tunggu...
Fathorrasik
Fathorrasik Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumenep

MENGALIR SEPERTI SUNGAI YANG MENGARAH PADA SAMUDERA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta

6 September 2018   09:11 Diperbarui: 6 September 2018   10:12 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah Warung Kopi, Mukidi bertemu temannya, Muridan. Keduanya kelihatan sangat akrab. Sambil memesan kopi hitam kesukaannya, Mukidi menyapa temannya dan memulai obrolan dengan guyonan khas Mukidi. Perbincangan santai pun berjalan, mulai dari soal Gempa Lombok, ASEAN GAMES, hingga hiruk-pikuk Capres-Cawapres. Keduanya ternyata sama-sama pecandu Medsos.

Perbincangan pun mulai memanas saat Muridan menyentil kelakuan Mukidi di Medsos yang     begitu getol membela NU. "Di, mengapa Anda terlalu bersemangat membela NU?", sentil Muridan.

Sentilan Muridan tersebut cukup membuat Mukidi tersentak. Nampaknya Mukidi berupaya keras mengais jawaban atas atas apa yang dia lakukan selama ini. Sembari menyulut rokok kesukaannya, Mukidi mulai menjawab dengan suara tertahan, "Dan, NU itu adalah Rumahku dan saya sangat mencintai rumah itu. Baik atau buruknya rumahku adalah kewajibanku untuk membelanya".  

"Kecintaan Anda berarti kecintaan yang buta, Di", sergah Muridan.

"Benar. Sebab cinta tak membutuhkan alasan, sebagaimana benci juga tak butuh alasan", jawab Mukidi sekenanya.

"Mas...!", Mukidi melanjutkan dengan suara yang agak meninggi.

"sejak lahir saya tidak pernah mengenal yang lain selain NU. Bahkan, Ayahku mengenalkan nama NU sebelum aku mengenal nama ISLAM. Beliau mengenalkanku al-Qur'an dengan mengeja alif dates A, Alif bawa I, Alif dapen U. Ayahku mengajariku mengenal dan mencintai Nabi Muhammad SAW melalui kumpulan Diba'.  Ayahku membiasakanku ikut tahlilan, ikut kumpulan sarwah, yang dengannya aku tahu pentingnya menghormati dan mencintai para leluhur. Ayahku juga mengajariku macapat yang dengannya aku mengenal nilai-nilai luhur. Terhadap semua yang beliau ajarkan, beliau tidak menyebutnya Islam. Beliau katakan inilah ajaran NU. Lalu bagaimana aku tidak mencintai NU, sedangkan NU telah menjadi sisi dalam setiap ruang hidupku?" Sambungnya lagi.

Mukidi terus nyerocos tanpa memberikan kesempatan pada Muridan untuk menanggapi ocehannya.

"Karenanya, bisa dimengerti mengapa aku begitu menggebu-gebu membela NU. Silahkan anda melangitkan sanjungan pada pujaanmu, tapi jangan sekali-kali mengusik pujaanku, NU. Karena setiap kali Anda mengusik dengan memfitnah, mengejek, mengolok-olok, dan mengobok-obok rumah NU-ku, maka anda telah mencabik-cabik dadaku dan membakar darahku. Dan jika saat itu terjadi aku akan hadir untuk menyerahkan darahku demi rumah NU-ku. Anda masih ingat, saat kita kuliah dulu, Anda pernah berdebat dengan seseorang dan saat itu teman Anda menjelek-jelekkan Gus Dur. Apa yang aku lakukan saat itu? Bagiku, ejekan temanmu itu adalah api yang membakar darahku dan mendorongku untuk mencabut pedang yang menggantung di dinding kamar. Mengapa itu aku lakukan? Karena temanmu itu tidak membutuhkan alasan dari Anda, akibat kebenciannya terhadap NU telah menutupi hatinya. Aku berharap hal itu tidak terulang kembali pada Anda".

Mukidi mengakhiri perbincangannya, keluar dari Warung Kopi tanpa menghabiskan kopi yang disajikan Mak Ju. Nampaknya Mukidi sengaja menghindari perbincangan lebih panjang lagi, mungkin dia khawatir terpancing pertanyaan-pertanyaan Muridan yang akan membuatnya tambah kesal.

Aku yang sejak tadi diam-diam menguping perbincangan tersebut di pojok Warkop, hanya bisa tersenyum bangga pada kegagahan Mukidi. Mungkin saja Mukidi itu adalah aku, Anda, atau bahkan jutaan orang yang merasa menjadi bagian dari rumah NU. Mukidi menyadarkanku ternyata  ke-NU-anku, belumlah seberapa dibandingkan ke-NU-an Mukidi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun