Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Layang-layang Putus

19 Maret 2011   03:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:39 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13005054041130980377

[caption id="attachment_97000" align="alignleft" width="380" caption="Sumber image : www.dominicacentral.com"][/caption] Sutarji duduk termenung. Dengan wajah lesu, ia menatap deretan foto di dinding ruang tamu. “Bud, makan sayur yang banyak. Biar kamu lekas besar dan bisa sekolah. Lalu menjadi pilot, bisa berkeliling Indonesia bahkan dunia gratis,” kata-kata itu masih terngiang dalam ingatan Sutarji, Tigapuluhlima tahun lalu ketika Budi putra pertamanya belum genap berumur 4 tahun. Budi memang putra kebanggan Sutarji. Bayangkan saja, ia orang pertama di kampungnya yang berprofesi sebagai pilot. Satu hal yang sungguh berbeda, jika mengingat-ingat lagi perilaku putranya sedari kecil hingga remaja. Dalam ingatan Sutarji masih tergambar jelas, bagaimana polah anaknya sewaktu masih anak ingusan. Tak ada satupun tetangga di sekitar rumahnya yang tak mengenalnya. Semuanya karena Budi memang terlalu sering membuat ulah mulai dari mencuri mangga tetangga, memecahkan kaca rumah akibat melempar bola terlalu tinggi hingga berkelahi. Meskipun bertingkah badung, Budi sejak kecil memiliki otak yang encer. Ia gampang sekali menguasai satu hal baru hingga terkadang hal-hal yang membahayakan bagi seorang anak kecil. Sejak kecil ia suka meniru, mulai dari adegan lompat hingga berguling layaknya bintang film laga. Untung saja semua itu dilakukan Budi di atas kasur walaupun tak jarang Yayuk istri Sutarji cemberut karena tanah yang membuat kotor sprei. Perihal cita-cita Budi menjadi seorang Pilot juga sudah dari kecil. Waktu itu Budi menonton tayangan film Holliwood. “Aku ingin menjadi seorang pilot,” katanya spontan selepas film usai. Sutarji mulanya tak pernah menganggap kata-kata itu namun rupanya itu bukanlah sekedar omongan anak kecil saja. Selepas lulus dari bangku SMA, Budi mengungkapkan keinginanya, ingin melanjutkan sekolah di Sekolah Pilot. Awalnya Sutarji tak menyetujui, maklum ia ingin anaknya masuk Fakultas Kedokteran saja. Kuliah di FK lebih dekat maklum kampusnya hanya berjarak 2 jam perjalanan dari rumah beda dengan akademi pilot haru naik kereta setengah hari perjalanan atau artinya bakal berjauhan dari mereka. Selain itu mencari biaya untuk masuk sekolah pilot juga tidaklah gampang bagi pegawai rendahan seperti Sutarji. Akhirnya Sutarji luluh juga. Ia mengijinkan putranya mengikuti tes masuk Akademi Pilot. Meskipun harus hutang sana-sini dan mencari kerjaan tambahan. Ternyata, Budi lolos seleksi. Pantas saja, putra semata wayang Sutarji ini memang memiliki tubuh yang kekar, tinggi dan atletis. Hampir empat tahun Budi menjalani pendidikan sebagai calon Pilot. Selama itu juga ia hidup di asrama jauh dari kedua orang tuanya. Budi hanya pulang setiap libur panjang. Biasanya ia sebelumnya menelepon Sutarji atau istrinya minta dibuatkan makanan favoritnya. Sutarji dan Yayuk selalu menanti di teras depan mengobati rindu dengan putra kebanggaanya. Mungkin karena kedekatan emosional antara orang tua dengan anaknya walaupun baru seratus meter dari pintu gerbang mereka seperti sudah mendengar bunyi langkah kaki Budi dan senyum kegembiraan selalu menyambut sosok pemuda tegap berseragam berambut cepak. “Ini lo bu, Budi, calon pilot anakmu” begitu kata Sutarji kepada Yayuk. Aktifitas seperti itu berlangsung hingga Budi lulus dan menjadi pilot. Kebahagiaan Sutarji dan Yayuk sebagai orang tua akhirnya lengkap setelah Budi menikah dengan Santi. Uniknya lagi Santi adalah seorang dokter tercapailah cita-cita Sutarji memiliki anak seorang dokter, meskipun anak menantu. Budi dan Santi, dikaruniai seorang anak lelaki, namanya Andi dan anak perempuan bernama Sita. Anak pertama Budi benar-benar seperti duplikat ayahnya. Rupanya benar kata pepatah, buah memang jatuh tak jauh dari pohonya. Cucu Sutarji ini tingkah lakunya persis seperti Budi ketika masih kecil, nakal, bandel, suka main layang-layang namun cerdas. Sedangkan Sita baru lahir belum genap seminggu. Karir Budi pun makin moncer. Ini juga berimbas pada kehidupan Sutarji dan istrinya. Mereka kini tak perlu bersusah payah mencari duit lagi. Semuanya sudah disediakan oleh putra semata wayangnya. Mulai dari perabot, kendaraan hingga perbaikan rumah ditanggung Budi. Bahkan rencananya mereka bakal berangkat naik haji bersama Budi dan istrinya tahun ini. “Pak, Budi sebentar lagi tiba,” Yayuk membuyarkan lamunan Sutarji. Mereka berdua keluar rumah duduk di kursi teras depan menanti putra kesayangan mereka. Namun kini mereka tak sendiri ada tetangga dan kerabat lain turut menanti. Namun Sutarji seperti tak peduli dengan keberadaan orang di sekelilingnya. Matanya menatap jauh ke lapangan depan rumahnya. Seorang bapak dengan anak kecil bermain layang-layang. Mereka mencoba menaikan layang-layang menanti angin berhembus cukup besar. Setelah mencoba berkali-kali akhirnya layang-layang bergambar pesawat itu terbang melayang-layang di angkasa. Namun rupanya mungkin karena angin berhembus terlalu kuat atau benang yang terlalu lemah layang-layang itu putus terbang terbawa angin. Yayuk dan Sutarji menunggu Budi. Namun kali ini berbeda. Jika dulu mereka menanti Budi yang datang dengan baju seragam dan senyumnya, tapi kini adalah tubuh terbalut kain di dalam sebuah mobil jenazah. Tak ada lagi yang ada wajah lesu, kusut dan mata sembab. Begitu pula tawa saat Budi masuk rumah yang ada tumpahnya air saat tubuh kaku digotong beramai-ramai. Seminggu lalu Sutarji dan Yayuk tersenyum bahagia. Cucu kedua mereka lahir dengan selamat. Namun rupanya kebahagiaan itu tak berlangsung lama setelah sore kemarin Budi menghembuskan nafas terakhirnya. Tubuh tegapnya ternyata tak mampu melawan kangker hati yang menyerangnya. Budi kini benar-benar terbang tinggi keangkasa namun untuk selama-lamanya. Apa yang dialami Sutarji rupanya tak jauh beda dengan layang-layang. Perjalanan hidup manusia terkadang mirip layang-layang. Butuh upaya keras untuk bisa membuatnya terbang tinggi. Namun apalah daya jika ternyata setelah terbang tinggi angin kencang membuat layang-layang putus dan pergi mengikuti angin. Yogyakarta 9 Maret 2011 Fathoni Arief *)Kisah fiksi didedikasikan untuk seorang sahabat, seorang pilot, yang pergi untuk selama-lamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun