Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menanti Emak Pulang

10 September 2011   23:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:04 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Emak belum bisa pulang sayang. Ia masih sibuk cari duit buatmu. Bukankah emak sudah mengiirim banyak hadiah,” kata Eyang terus mencoba menghiburku.

Semenjak peristiwa itu aku kecewa dengan Emak. Ia tak menepati janji. Selama beberapa hari aku menangis dan ngambek tak mau pergi ke sekolah. Eyang dan Uti sempat kewalahan mencoba menghiburku bahkan suatu hari ketika Emak menelpon, aku tak mau bicara dengannya. “Aku benci emak. Emak tukang bohong. Aku tak punya emak,” kataku sambil teriak setiap emak memaksa bicara denganku lewat telepon.

Mungkin emak merasa bersalah padaku. Sampai-sampai untuk menebus kesalahan setiap bulan ada saja hadiah dari emak. Awalnya aku tak mau menerima. Semua barang itu tersimpan begitu saja di sudut kamar. Namun lambat laun aku kasihan juga dengan emak. Ada perasaan bersalah padanya sehingga suatu hari ketika emak menelpon aku bersedia bicara denganya sambil menangis. “ Emak janji, jangan bohong lagi ya,” kataku pada emak.

Sekarang tentunya Emak sudah sadar. Aku bukanlah anak kecil lagi yang gampang dibohongi. Aku sudah lulus bangku sekolah dasar dan duduk di kelas satu SMP. Aku juga sudah lebih dewasa. Semoga saja kali ini emak benar-benar memenuhi janjinya. Mataku pun sudah terasa berat. Bayangan Emak terasa makin dekat. Sambil mendekap guling aku terlelap.

Pagi buta, kami terbangun oleh kedatangan pak lurah. Aku masih mengantuk sehingga tak jelas mendengar apa yang sedang dibicarakan dengan Eyang dan Uti. Tak lama Pak Lurah bertamu dan sepertinya ada sesuatu yang terjadi.

“Indah, cepat bangun. Segera mandi, Sholat Subuh. Nanti ikut Eyang dan Uti ke rumah sakit,”

“Baik Eyang,”

Segera saja aku bangun. Aku masih menyimpan satu tanda tanya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa harus ikut Eyang dan Uti. Bukankah hari ini rencananya Emak pulang. Jika semua keluar siapa yang akan membukakan pintu. Kasihan Emak sudah datang jauh-jauh dari Saudi Arabia.

Selepas Sholat aku pun bersiap. Aku memakai celana kain, kaos lengan panjang dan kerudung warna merah marun. Sebenarnya aku ingin memakai kerudung ini di depan emak tapi ya sudahlah sama saja daripada harus gonta-ganti baju.

Ternyata Eyang dan Uti sudah menungguku di teras rumah. Tak hanya mereka berdua saja tapi ada juga pak Lurah dengan membawa mobil vannya. “Aku sudah siap Eyang,”

Kamipun segera berangkat. Aku masih bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi. Kami mau pergi kemana. Pasti ada sesuatu yang sedang terjadi. Satu demi satu kuamati wajah Eyang, Uti dan pak Lurah. Semuanya seperti sedang menyimpan sesuatu. Bahkan sempat air mata menetes dari mata Uti namun secepat kilat Eyang memberi sapu tangan meminta Uti mengusapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun