Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mbah Pon

27 Juli 2011   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:20 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tak seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini hujan turun begitu deras. Guyuran air dari langit sekejap saja sudah mampu menyulap jalan-jalan berlubang di kampung Bandung menjadi hamparan genangan air di sepanjang jalan. Banyak pemakai jalan menyebutnya mirip kubangan kerbau. Kondisi ini membuat mereka yang lewat begitu hati-hati tak seperti biasanya. Pengendara sepeda motor berjalan dengan kecepatan begitu pelan melewati sela-sela jalan yang luput dari genangan. Tapi tetap saja, ada juga orang yang terpeleset, untung saja mereka hanya mengalami sedikit lecet.

“Jalan baru harus segera dibangun. Kalau tidak korban bakal lebih banyak lagi,” kata seorang berbaju PNS yang harus berhenti di sebuah bengkel kecil setelah terjatuh.

“Iya mas. Saya sih kepinginya juga seperti itu. Tapi kira-kira kapan bakal terealisasi,” sambut pemilik bengkel sambil memutar roda belakang motor mencari sesuatu yang tak beres.

Sudah begitu lama penduduk desa menanti pembangunan jalan baru. Proposal anggaran pun disusun dan rencana perbaikanpun sudah lama dibuat namun berkali-kali usaha mereka mentah. Meski sebenarnya setiap kali ada kunjungan kampanye baik pilkada maupun pemiliu selalu saja muncul janji-janji guyuran bermilyar-milyar rupiah menyulap jalan tersebut kembali mulus. Kini warga bisa tersenyum lega, setelah menanti bertahun-tahun doa mereka akhirnya bakal terkabulkan. Tak lama lagi jalan yang melintasi desa mereka bakal diperbaiki. Keberadaan material berupa pasir, kerikil dan batu pecah di sepanjang jalan membuat warga semakin yakin jalan baru sudah di depan mata.

Di pinggiran desa, tak jauh dari hutan jati, Mbah Poniran masih asyik duduk di kursi lincak menikmati rokok tingwe. Di samping kursinya empat tundun pisang sudah siap ia bawa ke pasar Prapat. Biasanya sepulang dari pasar hasilnya dua lembar uang dua puluh ribuan bakal terselip di lipatan sarungnya. Uang yang hanya cukup untuk membeli sedikit tembakau dan beras. Meskipun hanya untuk dua atau tiga hari dan selanjutnya seperti biasa hanya mengkonsumsi singkong rebus. Kecuali sakit, sejak masih bujang hingga sekarang lelaki tua itu jarang sekali luput dari kegiatan pasaran. Hingga orang-orang di sana pun begitu hafal dengannya.

Pasar, memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Mbah Poniran. Mulai dari nama lahirnya saja adalah Poniran mengambil dari salah satu nama hari dalam sistem kalender Jawa yaitu Pon. Di hari itu pula ia muncul untuk pertama kali di dunia.

Dalam sistem kalender Jawa, hari ini memang bertepatan Pon. Seperti biasanya, setiap hari tersebut, Prapat, pertigaan yang menghubungkan beberapa desa itu tumpah ruah dengan manusia. Mereka mencari rupiah membawa berbagai macam hasil bumi atau hanya sekedar membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari. Inilah hari besar mereka bahkan jika bersamaan dengan pasaran sekolah dasar di dekat pasar selalu pulang lebih awal. Warga yang datang ke pasar Prapat tak hanya berasal dari kampung Garangan saja, namun juga dari desa-desa di sekitar bahkan di daerah lain kecamatan. Mereka berjalan kaki berkilo-kilometer menyusuri jalanan menanjak dan berlubang.

“huk huk huk,” Mbah Poniran terbatuk-batuk. Sebenarnya, lelaki tua yang hidup sebatang kara setelah ditinggal mati istrinya dan anaknya merantau ke Jakarta tersebut sudah divonis menderita TBC. Tapi tetap saja meskipun berkali-kali keluar masuk rawat inap Puskesmas tetap saja ia tak mau berhenti merokok.

Oalah mbah-mbah, mbok ya ga usah ngudud lagi,” kata salah seorang perawat di Puskesmas sebulan lalu. Mbah Poniran hanya bilang “ Inggih mas,”.

Matahari mulai tampakkan diri dan hujanpun sudah reda. Lalu lalang orangpun terlihat, termasuk tetangga mbah Poniran. “Mboten tindak peken mbah?” tanya Sumini, wanita belasan tahun beranak satu, tetangganya.

“Iyo nduk, sebentar lagi,”jawab Mbah Poniran sambil menghisap rokoknya.

Mbah Poniran tak jua beranjak dari kursi lincaknya. Matanya mengikuti langkah kaki Sumini dan fikiranya menerawang ke satu ruang waktu, mengingatkan lagi kenanganya akan Sri anaknya. Anak semata wayangnya sudah lama merantau ke Jakarta menjadi pembantu rumah tangga. Biasanya, setahun sekali, setiap lebaran, ia selalu pulang kampung, namun dua tahun terakhir ini ia tak bisa pulang. Ia hanya bisa berkirim kabar dan titip sedikit uang dan oleh-oleh lewat Prapto, sepupunya, yang juga merantau di ibukota. Sudah dua tahun ini, Sri harus banting tulang mengais rupiah buat keluarganya. Maklum, sejak suaminya,seorang buruh pabrik sepatu olahraga milik orang Amerika, kena PHK karena penutupan pabrik, hanya dialah penopang perekonomian bagi keluarganya.

Penderitaan Sri makin menjadi saja semenjak suaminya divonis menderita lepra. Usaha wartegnya makin sepi saja. Para pelangganya buruh-buruh pabrik di sekitar warungnya beralih ke lain tempat, takut tertular penyakit yang diidap suaminya.

“Oalah Sri…hidupmu kok makin sengsara saja,” keluhnya dalam hati.

Penyesalan, hanya itu yang kini bisa dilakukan Mbah Poniran. Ia sadar semua adalah kesalahanya. Jika saja dulu ia tak mengijinkan putri semata wayangnya merantau ke ibukota pasti tak akan begini ceritanya. Tapi waktu itu bahkan sekarang keadaan di sini memang serba susah. Tinggal di tempat ini berarti harus berjuang melawan kerasnya alam, susah mencari kerjaan. Padahal Sri terkenal akan watak kerasnya dan tak mau merepotkan orang tuanya.

“Belum berangkat mbah?” Mardi, penjual bakso keliling menyapa lelaki tua itu.

“Ya le,” lelaki itu tersadar dari lamunannya.

“Huk huk,” sambil terbatuk batuk lelaki tua itu bangkit tangan kanannya meraih baju safari lusuh yang tergantung di tiang teras. Sisa rokok yang hanya tinggal beberapa kali hisapan ia lempar ke kubangan kecil di depan teras.

lelaki tua mengangkat 4 tundun pisang dengan sebatang bambu. Pelan-pelan ia berjalan dengan nafas terengah-engah dan titik-titik keringat yang mulai muncul di sekujur tubuhnya. Sebenarnya jarak antara pasar dengan rumah Mbah Poniran hanya dua kilometer saja. Namun kondisi jalan berbukit-bukit dan rusak parah cukup berat jika harus dilawan dengan tenaga tua. Biasanya ia butuh waktu kurang lebih sejam menuju pasar.

Mbah Poniran terus melangkah dan keringat makin deras mengucur dari tubuhnya. Langkahnya semakin cepat meskipun masih kalah cepat dengan laju sepeda motor yang beberapa kali menyalipnya.

Sudah hampir setengah jam lelaki tua itu berjalan. Pasar tinggal beberapa ratus meter lagi tapi langkahnya mulai tertahan. Usia memang tak pernahbisa dibohongi. Iapun berhenti, duduk di bawah pohon besar di depan sebuah sekolah dasar. Ia merasa lelah dan bunyi dari perutnya mulai terdengar.

“Huk huk huk,” kembali batuk menyerang lelaki itu.

Ia bersandar lalu meneguk air putih dari bekas botol air mineral. Rupanya ia memang benar-benar lelah. Dulu ketika Sulastri, istrinya, masih hidup, di sini pula mereka sambil istirahat, menikmati bekal dari rumah. Tak jarang kemesraan dua manusia paruh baya itu membuat iri pasangan muda di desanya. Kini, di masa senjanya semua harus ia lakukan sendirian. Hembusan angin sepoi-sepoi hampir saja membuat lelaki itu terlelap. Lelaki itu termenung, teringat cerita anak tetangganya Tarji yang kini tinggal di daerah lain.

“Di sana jalanya kini sudah bagus mbah. Orang tak perlu bersusah payah berjalan naik turun gunung. Cukup bayar seribu rupiah sudah bisa naik angkot menuju pasar,” kata Tarji.

Lelaki itu hanya bisa menarik nafas panjang. Tak lama kemudian ia terlelap.

“Mbah…. Mbah Poniran..,” lelaki kurus penjaga sekolah membuat lelaki tua itu kembali terjaga. Ia menggigil, rupanya hujan telah membuat baju lusuhnya basah kuyup.

Mbah Poniran terjaga, kesadaranya belum kembali 100 persen. Saat terbangun yang langsung ia ingat adalah 4 tundun pisangnya. Segera ia mengangkat pisangnya. Karena masih terkantuk jalanyapun sedikit sempoyongan. Tak sadar dari arah depan sebuah mobil pick up yang melaju cukup kencang tiba-tiba saja berbelok mencoba menghindari sebuah lubang di tengah jalan. Tak ayal bagian depan mobil menghajar tubuh renta lelaki tua itu.

“Mbah…mbah…bangun mbah,” kerumunan orang sudah mengelilingi lelaki itu namun tubuhnya tetap tak bergerak dan darah terus mengalir dari sela-sela rambutnya.

Karanggede, Mei 2011

FATHONI ARIEF

Keterangan :

Pasaran : Siklus seminggu sekali dalam sistem penanggalan Jawa

Peken: Pasar (Bahasa Jawa Halus)

Pon :Nama hari dalam kalender Jawa

Ngudud: Merokok (Jawa)



Rokok Tingwe: Rokok Melinting sendiri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun