Mohon tunggu...
Fathin Amim Mufidah
Fathin Amim Mufidah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Pendidikan Islam Anak Usia Dini UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Sebagai Imajinator Terdekat

26 Oktober 2020   22:20 Diperbarui: 26 Oktober 2020   22:24 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
id.theasianparents.com


Selayaknya yang kita semua tahu, bahwa dunia anak adalah dunia bermain, dunia yang penuh dengan kejutan, dunia yang penuh hal-hal baru yang bahkan kita tak mengerti apa maksud kebenarannya. Anak-anak berpikir sederhana. Segala yang berada di sekelilingnya terasa sangat bermakna dan penuh inspiratif.

Itulah mengapa, beberapa saat yang lalu saya sempat berpikir, kenapa anak-anak gampang sekali terpikirkan untuk merangkai sebuah cerita. Sebagai contoh, suatu ketika keponakan saya iseng menjumpai sekawanan kupu-kupu di kebun kecil belakang rumah, sesaat setelah itu dengan mudahnya dia berpura-pura dan menempatkan diri menjadi ibu peri dalam kerajaan kupu-kupu. Dalam ocehannya, dia berbicara bebas tentang warga kupu-kupu.

Atau, pernah melihat anak-anak ngobrol dengan manequin? Mereka menganggap manequin sebagi orang-orang yang sama seperti dirinya. Diajak bicara dan bercanda, seakan-akan benar si manequin tadi menanggapi ocehannya.

Entah, saya pikir mereka begitu imajinatif. Mudah terinsiprasi oleh hal-hal kecil. Lantas, mengapa kebanyakan orang dewasa justru sebaliknya?

Contoh, saya sendiri sering kali berniat untuk mengerjakan tugas resume atau membuat artikel dengan tema tertentu. Sebelumnya sudah siap alat tulis beserta laptop di depan mata. 

Yang terjadi selanjutnya, bukannya lancar menulis melainkan bengong menghadap laptop seolah-olah memikirkan rangkaian kata yang akan tertulis. Padahal yang benar adalah sama sekali belum menemukan inspirasi atau imajinasi yang memungkinkan diri menyelesaikan tugas tersebut. Terkadang justru melarikan diri ke media sosial dan 'tersesat'.

Nah, pantas saja saya pernah mendengar; jika ingin melatih daya imajinasi, banyak-banyaklah ngobrol dengan anak usia dini. Sebenarnya banyak sekali faktor yang mendorong seseorang dalam memunculkan daya imajinasinya, beberapa ada yang harus membaca banyak buku terlebih dahulu, ada yang perlu berlibur dulu untuk menemukan inspirasi, dll.

Namun, bagi orang yang malas mudah mengantuk dan lelah saat membaca buku, apalagi yang semacam buku psikologi yang 'isinya' berat, saya lebih suka mendekatkan diri pada anak-anak untuk menyerap imajinasi yang mereka tularkan bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan berbicara bersama anak-anak tanpa kita sadari juga dapat melatih dan mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas kita, lho.

Melatih kita untuk berpikir 'out of the box', karena bagi mereka tidak ada yang salah, dan tidak ada yang benar. Segala yang mereka ucapkan berupa spontanitas, juga berani mencoba hal-hal baru.

Untuk memperoleh ide-ide atau bahan yang akan dijadikan bahan bincangan atau kegiatan oleh mereka pun terkadang juga datang dari hal-hal yang terlampau sederhana. Seperti menyusun bantal-bantal untuk kemudian dijadikan mobil-mobilan, mengapit sapu di antara dua kali yang mereka anggap sebagai kendaraan nenek sihir, dll.

Saat menulis ini pun, seketika saya berusaha introspeksi diri. "Oh iya, mereka (anak-anak) aja udah bisa berpikir segini kreatifnya, kenapa aku engga?". Ya seperti itulah yang terlintas di pikiran saya.

Melalukan pendekatan dan berkomunikasi dengan anak-anak itu artinya kita (sebagai orang dewasa) harus pandai-pandai menyesuaikan frekuensi dengan mereka. Salah satu caranya adalah dengan 'menjadi anak-anak lagi'. 

Maksudnya, kita menempatkan diri seolah-olah kita seumuran dengan mereka, apa yang mereka ucapkan kita menanggapi balik. Karena memang ada beberapa anak yang lebih suka bermain dan bergaul dengan yang sebaya atau satu frekuensi dengan dirinya. Tanpa kita sadari pun, sebenarnya mereka memberikan energi positif bagi orang dewasa di sekitarnya.

Mungkin banyak orang yang tidak terpikirkan akan hal ini. Bisa saja, orang tua yang niat awalnya hanya ingin mengajarkan dan membiasakan diri anak dalam berpikir bebas dan kreatif, namun secara tidak langsung diharapkan orang tua pun juga bercermin dari mereka, turut serta mengembangkan daya imajinasi.

Oleh karena itu, untuk mencapai harapan tersebut, penting juga untuk melatih dan mengasah kreativitas anak -anak. Meskipun tadi saya tuliskan bahwa anak -anak dapat pula belajar dari hal yang sepele, akan tetapi akan lebih maksimal jika orang tua bergerak untuk memfasilitasi serta memberi perhatian yang cukup.

Sayangnya, hal ini masih terdengar tidak masuk akal di kalangan masyarakat. Sebagai bukti, seorang wali murid bertanya pada ibu saya yang merupakan salah satu guru di TK tempat anaknya mengajar, "gimana sih caranya ngajarin anak-anak bisa gambar dan jadi kreatif?"

Kemudian ibu saya menjawab, ".......kebalik, kita yang belajar dari mereka". Seketika wali murid tadi memandang ibu saya skeptis. Mungkin baginya, mana mungkin anak-anak yang mengajari orang dewasa, ada-ada saja. Padahal, maksudnya bahkan lebih dari itu.

Jujur saja, saya sendiri karena memang sedang belajar di bidang pendidikan anak usia dini, sering kali terbentur dan pusing menghadapi tugas-tugas setiap pekannya. Untuk menghilangkan kejenuhan tersebut, sering saya atasi dengan duduk di dekat keponakan-keponakan kecil saya.

Menonton mereka bermain, saling berkomunikasi, bahkan apa saja tindak laku mereka sangat sering memancing imajinasi saya. Mereka sungguh tidak terduga, hal-hal kecil yang mereka lakukan dan tampakkan sering memberikan ide mengenai hal apa yang selanjutnya ingin saya pelajari lebih dalam lagi, untuk kemudian saya aplikasikan pada mereka.

Terkadang, kita harus belajar bercermin pada mereka. Anak -anak bermain dan melakukan segala sesuatu tanpa memikirkan apa akibatnya, mereka masih belum mengerti dan tidak peduli apa kata dan pendapat orang lain tentang dirinya. Yang ada di pikiran mereka, yang penting senang sudah cukup.

Maka, sebaliknya. Semakin dewasa seseorang, hal-hal di atas perlahan mulai mengikis. Dengan dalih sudah mengerti akan baik dan benar, terkadang tanpa alasan merasa insecure dan tidak percaya pada diri sendiri. Mudah terpengaruh apa pendapat orang lain.

Sekali-kali, cobalah untuk menjadi seperti anak. Berjiwa bebas tanpa takut bagaimana dunia memandangnya. Lakukan hal-hal kecil yang menyenangkan dan setidaknya berguna untuk self relaxing. Bersikap seolah 'bodo-amat' juga terkadang perlu dilakukan. Kala seseorang sibuk memberi komentar tentang apa yang kita lakukan, cobalah menjadi seperti anak-anak yang 'apa adanya'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun