Mohon tunggu...
Fathimah Nurul Afifah
Fathimah Nurul Afifah Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga, Alumni Pendidikan Biologi UPI, Santri Ma'had Khadimussunnah

Senang membaca dan menulis, bercita-cita menjadi seorang ibu dari anak-anak yang shalih dan shalihah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fiqih Prioritas (Aulawiyat)

23 Februari 2020   20:34 Diperbarui: 16 Juni 2021   11:20 7076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiqih Prioritas (Aulawiyat). | Ilustrasi pixabay

Pernah gak sih kalian merasa bingung saat banyak aktivitas yang harus kalian lakukan?. Bingung memilih mana yang perlu diprioritaskan. Apakah memilih yang disukai terlebih dahulu namun aktivitas tersebut tidak penting, atau memilih yang dibutuhkan tetapi malas mengerjakannya.

Stephen R. Covey dalam bukunya "The 7 Habbits of Highly Effective People" membuat suatu kuadran waktu, cara untuk menentukan prioritas berdasarkan penting atau tidaknya serta keterdesakkan suatu aktivitas.

Ternyata perihal penetapan prioritas pun ada dalam Islam yang kita kenal dengan istilah fiqih Aulawiyat.

Sebelum kita beranjak pada bagaimana menentukan prioritas berdasarkan hukum syara, mari kita pahami terlebih dahulu lima jenis hukum taklifi.

  1. Mubah atau boleh. Seorang Muslim berhak memilih hal-hal tersebut apa yang diinginkannya sesuai dengan pertimbangan akalnya dan kepentingan dirinya.
  2. Mandub atau sunnah.
  3. Makruh.
  4. Walaupun hal yang mandub dan makruh tidak sesuai dengan keinginannya serta keputusan akal serta kepentingannya, sebisa mungkin kita meninggalkan yang makruh dan mengerjakan yang mandub. Hal ini karena dengan mengerjakan yang mandub ataupun meninggalkan yang makruh terdapat pahala di dalamnya, kendatipun ketika tidak begitu (meninggalkan yang mandub dan mengerjakan yang makruh) tidak ada dosa padanya. Namun akan menjadi rugi karena kehilangan pahala.
  5. Haram, seorang Muslim harus meninggalkan semua larangan-larangan itu kecuali terdapat _rukhshakh syari'iyah_ (rukhshakh yang dibenarkan oleh syara') seperti memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa.
  6. Fardhu atau wajib, seorang Muslim akan mendapatkan pahala apabila melakukannya dan mendapatkan dosa apabila meninggalkannya. Fardhu dibagi menjadi dua yaitu fardhu 'ain dengan fardhu kifayah. Fardhu ain adalah kewajiban bagi setiap individu Muslim dan tak akan gugur kewajiban ini dari seorang individu Muslim walaupun seluruh kaum Muslimin melakukannya. Dan fardhu kifayah yaitu kewajiban yang jika telah sempurna dikerjakan oleh sebagian kaum Muslimin, maka gugurlah kewajiban itu dari kaum Muslimin yang lain.

Pada dasarnya seorang Muslim harus mengerjakan semua perkara yang wajib baik fardhu 'ain maupun fardhu kifayah. Akan tetapi bila kedua macam kewajiban ini berbenturan pada kondisi-kondisi tertentu, dalam arti bila dilaksanakan salah satu kewajiban yang lain tidak dapat dilaksanakan, maka dalam kondisi-kondisi seperti ini fardhu 'ain lebih didahulukan daripada fardhu kifayah.

Baca juga: Pekerjaan Sampingan dan Pekerjaan Utama Harus Mendapat Prioritas yang Sama, Bila Tidak...

Perlu diperhatikan di sini, bahwa fardhu kifayah kadang-kadang dapat berubah statusnya menjadi fardhu 'ain dalam kondisi-kondisi tertentu. Shalat jenazah sebagai contohnya, hukumnya fardhu kifayah. 

Tetapi apabila hanya ada satu orang selain jenazah tersebut, maka shalat jenazah hukumnya berubah menjadi fardhu 'ain atas orang tersebut. Contoh lain apabila ada suatu kecelakaan tetabrak kendaraan, menolongnya adalah fardhu kifayah. Akan tetapi bila tidak ada orang sama sekali di tempat tersebut kecuali dua orang saja maka memberi pertolongan menjadi fardhu 'ain. Demikian seterusnya.

Baca juga: Prioritas Hidup Rohani Kita, Antara Mengoleksi Materi dan Kebaikan

Lalu bagaimana apabila adanya kondisi beberapa fardhu 'ain berbenturan?, dalam arti dia tidak mempu mengerjakan semuanya, sehingga dia hanya mampu mengerjakan sebagiannya saja. Di sini muncul pertanyaan," Apakah dia berhak memilih untuk mengerjakan fardhu-fardhu yang akan dikerjakannya? Apakah syara' sajalah yang menetapkan peringkat aulawiyat dan seorang Muslim harus terikat dengannya? ". Jawabnya adalah masalah ini bukan perihal hak untuk memilih dan bukan pula dikembalikan kepada pilihan seseorang, tetapi ini adalah masalah syariah (masalah yang ditetapkan syara').

Sebagai contoh seseorang yang mempuan hutang dan harus dilunasinya sementara keluarganya masih memeilih kebutuhan yang harus dipenuhi, namun dia tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi keduanya, manakah dari kedua hal ini yang harus didahulukan? Melunasi hutang yang telah jatuh pada temponya adalah fardhu 'ain dan memberi nafkah bagi keluarga pun fardhu 'ain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun