Mohon tunggu...
Fatharani Hasna
Fatharani Hasna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa baru Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Masyarakat yang memiliki ketertarikan di bidang sosial khususnya mengenai isu perempuan, disabilitas, dan kesehatan mental. Saya memiliki pengalaman menjadi organisator dan volunteer disabilitas. Saya bertekad untuk terus bertumbuh dan bermanfaat bagi Iingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penanganan Kasus Stunting dengan Pendekatan Andragogi

24 November 2022   19:47 Diperbarui: 24 November 2022   21:31 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dilansir dari kanal stunting.co.id, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta percepatan penurunan stunting yang sudah menjadi program untuk segera dipercepat. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Presiden Joko Widodo, "Ada perbaikan dalam prevalensi stunting dari 37% di 2013 menjadi 27,6% di 2019. Penurunan ini masih perlu ditingkatkan lagi. Kita harus menurunkan lebih cepat lagi dan target kita sesuai yang saya sampaikan. 

Saya berikan pada Menteri Kesehatan di 2024 kita harus bisa turun menjadi 14%," tutur Presiden saat memimpin Rapat Terbatas di Istana Merdeka, Provinsi DKI Jakarta, Rabu (5/8). Pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut dapat dilihat pada kondisi objektif di Indonesia, bahwa kasus stunting atau gagal tumbuh pada anak masih cukup memprihatinkan. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan terkait angka kasus stunting di Indonesia mencapai 24,4 persen. 

Dapat disimpulkan, 1 dari 4 anak di Indonesia mengalami stunting. Menurut catatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), angka stunting Indonesia menduduki peringkat keempat di seluruh dunia. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kekurangan asupan gizi dalam tempo waktu yang cukup lama. Hal ini diakibatkan karena pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). 

Masalah stunting merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan, baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering (kondisi pertumbuhan fisik yang lamban) dan catcth up growth (tumbuh kejar) yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal. 

Masalah tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik (Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 2017; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). 

Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah kondisi gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak karena kekurangan asupan gizi. Dalam jangka waktu lama, pertumbuhan anak akan bermasalah, biasanya ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah dibanding standar usianya. Dampak dari masalah stunting adalah anak-anak akan memiliki kemampuan kognitif, motorik, dan intelektual yang rendah, serta daya tahan tubuh rentan sehingga mudah terserang penyakit. 

Hal tersebut akan menurunkan kualitas sumber daya manusia secara umum. Banyak faktor yang mengakibatkan anak dapat mengalami stunting. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi stunting pada anak, antara lain : Faktor Sosial Ekonomi dan Lingkungan Kondisi ekonomi memiliki kaitan dengan kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita. Dimana kebanyakan kasus stunting terjadi di kalangan keluarga menengah ke bawah dan bawah. 

Dalam kondisi seperti ini permasalahan stunting menjadi sebuah dilema, dimana kebutuhan pokok seluruh anggota keluarga harus terpenuhi, sedangkan pemenuhan gizi, sanitasi dan keamanan pangan yang tidak memadai dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi. Pada tahun 2018, Joint Child Malnutrition Estimates mendata kasus stunting di berbagai negara yang mengungkapkan bahwa negara dengan pendapatan menengah ke atas mampu menurunkan angka stunting hingga 64%, sedangkan pada negara menengah ke bawah hanya menurunkan sekitar 24% dari tahun 2000 hingga 2017. 

Namun, Pada negara dengan pendapatan rendah mengalami peningkatan pada tahun 2017. Faktor Ibu Kondisi gizi dan kesehatan sebelum kehamilan, saat kehamilan dan setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan anak yang berisiko terjadinya stunting. Faktor lain dari stunting yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. 

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan menyebutkan bahwa sebab kelahiran bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) adalah karena terjadi masalah saat masa sebelum kehamilan, masa kehamilan, persalinan, dan masa sesudah melahirkan serta keadaan ibu hamil yang terlalu tua, terlalu muda, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu sering melahirkan, usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun). 

Sekitar 20% dari kasus stunting dipengaruhi oleh bayi BBLR. Faktor Situasi Bayi dan Balita Kekurangan nutrisi yang diperoleh oleh bayi sejak kelahirannya sangat berisiko terhadap masalah stunting. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun