Sedangkan kaum radikal tidak melakukan analisis demonstratif dengan menggunakan serangkaian hadist seperti yang dilakukan ISIS. Â Mereka berhasil menghubungkan antara imajiner dan"rasionalisasi" teologis yang dibuat oleh disediakan oleh ISIS, dan hal tersebut tidak didasarkan pada pengetahuan nyata tetapi lebih kepada seruan kepada otoritas.Â
Ketika para jihadis berbicara tentang "kebenaran", itu tidak pernah mengacu pada pengetahuan diskursif. Mereka mengacu pada kepastian mereka sendiri, kadang-kadang didukung oleh referensi yang belum pernah mereka baca. Ini adalah praktik penganut agama yang mereka putuskan sendiri, dan bukan eksegesis sekuler dari teks-teks suci.Â
Pertanyaannya bukanlah: "Apa yang sebenarnya dikatakan al-Qur'an?" melainkan: "Apa yang Muslim katakan tentang apa yang dikatakan al-Qur'an?" Hal itu tentu saja tidak menghalangi upaya untuk menempatkan klaim agama jihadis dan ISIS dalam perspektif dengan polarisasi yang mempengaruhi Islam saat ini. Ini merupakan masalah nyata, baik dalam persoalan keamanan begitu juga dalam pencegahannya.
Singkatnya, dapatkah dikatakan bahwa Salafi tidak semuanya teroris, akan tetapi semua teroris adalah salafi, yang pada akhirnya menjadikan Salafisme sebagai pintu menuju gerbang jihadisme? Intinya di sini bukan untuk membebaskan Salafisme dari dua tanggung jawab utama.Â
Pertama, yaitu pemisahan dari masyarakat sekuler dan penolakan terhadap nilai-nilai Eropa yang umum: kebebasan individu, penolakan untuk menjadikan keluarga tradisional sebagai tempat yang sah, prokreasi, kebebasan berekspresi, hak LGBT, dan lain sebagainya.Â
Kedua, adalah tanggung jawab moral, dengan membuktikan bahwa teroris tidak berasal dari jemaat mereka (yang secara statistik benar).