Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Sekantong Plastik Jeroan

17 September 2022   20:00 Diperbarui: 17 September 2022   20:04 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Sabtu adalah "hari hore" bagi saya, libur kerja dan bisa belanja keperluan dapur untuk seminggu serta beres-beres rumah. Biasanya pagi saya mengecek isi kulkas dan mulai mencatat apa saja yang akan dibeli di pasar. Saya sangat menyukai belanja di pasar tradisional, walau becek tapi lauk, sayur dan keperluan dapur lainnya tersedia masih segar.

Wah ternyata isi kulkas sudah kosong, di freezer hanya tertinggal sekantong plastik jeroan dari Idul Adha kemarin. Lumayan lama, sudah dua bulan lebih. Biasanya, jika pemotongan daging kurban pada Idul Adha, yang dibagi untuk warga adalah daging has sementara jeroan diperuntukkan bagi panitia disamping dapat juga daging has.

Karena banyak yang berkurban, daging kurban dibagi juga banyak. Biasanya saya membeli kantong plastik bening dan membaginya dalam bagian-bagian kecil, supaya ketika ingin memasak gampang diambil dari freezer.  Saya memasak berbagai masakan berbahan dasar daging ini seperti rendang, gulai, dendeng.

Sekantong plastik jeroan yang tersisa di kulkas ini, di dalamnya ada babat, usus dan lain-lain. Saya malas mengolahnya karena mesti direbus sampai empuk baru bisa dibuatkan gulai. Akhirnya saya memutuskan membuang sekantong plastik jeroan ini ke lubang sampah di samping rumah.

Saya kemudian ke pasar dan membeli keperluan dapur mingguan. Ketika pulang dari pasar ternyata grup perpesanan dasa wisma di mana saya tinggal lagi heboh membahas sekantong plastik jeroan yang di bawa anjing  dan diselamatkan oleh seorang tetangga saya. Karena masih beku dari freezer, kantong ini masih utuh. Jika ada yang kehilangan sekantong platik jeroan silakan ambil di rumah ibu NN, begitu bunyi pesan.

Ibu NN yang menemukan sekantong jeroan ini keluarga kurang mampu, punya anak lima orang dan suaminya bekerja sebagai tukang parkir. Saya segera menelepon ibu NN, mengatakan bahwa sayalah yang membuang sekantong jeroan tersebut dan jika berkenan sekantong jeroan itu untuknya saja.

Ibu NN mengucapkan terima kasih, karena hari ini belum masak apa-apa, tidak ada yang mau dimasak, jelasnya.  Mendengar ucapan ibu NN, saya merasa sangat bersalah. Ada orang terdekat atau tetangga malah tidak dibantu. 

Iya, daripada dibuang kenapa tidak diberikan untuk tetangga saja? Dari mulai pandemi, memang saya membatasi untuk memberi makanan ke pada orang lain. Bukan apa-apa, makanan sangat riskan untuk diberikan, jika orang lain tiba-tiba sakit setelah memakan makanan yang kita berikan tentu kita turut merasa bersalah. Padahal belum tentu sumber sakitnya dari makanan yang kita berikan.

Alasan lain, kadang ada orang yang merasa hina jika menerima pemberian. Apalagi hanya sekantong plastik jeroan. Jadi, dalam memberi ada banyak pertimbangan juga. 

Saya menganut ajaran "jika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tahu", hari ini saya melanggarnya. Saya berbagi kisah kecil ini karena saya merasa bersalah telah membuang sesuatu yang untuk orang lain masih bisa berguna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun