Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memaknai Artikel ke-1000 di Kompasiana

27 September 2021   16:03 Diperbarui: 27 September 2021   18:41 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi https://www.piqsels.com/id/public-domain-photo-fjnwv

Hari ini saya diingatkan oleh mbak Ari Budiyanti bahwa artikel saya sudah sampai pada angka 999. Saya jarang lihat statistik, karena angkanya segitu-gitu aja menurut saya. Diary ini menjadi artikel ke-1000 di Kompasiana. Kalau mbak Ari sangat teliti masalah angka, kalau saya sering masa bodoh. Sebagai sesama penulis puisi, saya kagum dengan mbak Ari dengan semangat menulisnya. Satu hal lagi, kami saling mendukung, tidak pernah beranggapan sebagai saingan. Mbak Ari banyak membantu saya jika ada hal yang saya tidak paham, maklum anak bawang.

Artikel ke-1000 ini tidak termasuk dengan artikel-artikel yang saya hapus dengan berbagai alasan. Waktu jadi anak baru, saya sering tidak mencantumkan sumber ilustrasi, kemudian ada juga puisi yang tayang tapi hati saya tidak sreg lalu saya hapus. Apakah bisa dikatakan kesuksesan dengan angka 1000 ini? Jauh, belum apa-apa menurut saya. Senior di Kompasiana artikelnya bagus dan angkanya juga ribuan.

Saya hanya merasakan banyak kemajuan dari diri pribadi. Awal menulis, beberapa bulan sebelum genap setahun di Kompasiana, seorang sahabat baik saya memberi kritikan bahwa pembaca artikel saya sangat minim, follower (entah berpengaruh entah kagak) juga minim, saya juga kurang follow Kompasianer yang lain.

"Kamu hampir setahun lho di Kompasiana, coba jangan arogan, artikel teman-temanmu yang berpuisi dikunjungi, cari banyak teman-teman," begitu kira-kira kritikan sahabat saya.
"Tapi saya tidak suka diatur-atur, mesti ini mesti itu," bantah saya.

Tapi setelah berpikir, menurunkan ego, arogansi, kepedean dll dst, saya mulai aktif blogwalking, berbaur dan bersahabat dengan beberapa Kompasianer dan gabung dengan Whatsapp Grup penulis.

Saya juga dulunya jutek jika membalas rekan lain yang berkomentar pada artikel saya.
"Mbak, puisinya kok gini" komentar seseorang.
"Menurut anda, bagaimana puisi yang bagus, balas saya dengan jutek. 

Kelemahan saya adalah jika ada yang nyolok, saya dengan cepat bereaksi dan spontan. Makanya saya sering meredam diri untuk tidak berkomentar di artikel rekan yang lain, takut orang lain tersinggung. Salah seorang Kompasianer senior yang dikenal sangat sopan, juga memberi wejangan bahwa saya harus sopan membalas komentar orang lain walaupun kadang ada yang menyakitkan.

Saya gemini, jika orang lain baik kepada saya, saya akan sangat baik seribu persen kepada orang tersebut. Tapi negatifnya mood bisa berubah seketika. Ditambah lagi karakter orang Kerinci yang keras, bak harimau. Tidak akan mengganggu jika tidak diganggu, tapi murka jika ada yang mengganggu. Saya disini, berusaha meredam sifat-sifat negatif yang sering muncul, tetap berusaha baik hati dan tidak sombong, ramah pada semua orang, dan rajin menabung tulisan he he he. 

Ini hanya angka, saya tidak mau dipusingkan dengan angka-angka. Hidup ini sudah ruwet jangan dijadikan tambah ribet. Saya setuju dengan pak Tjiptadinata, menulis untuk kesenangan semata. Apa sih yang sebenarnya kita kejar? Mata saya mulai berkaca-kaca. Sampai pada saat ini, menulis untuk saya bukanlah jalan mulus terbentang. Saya masih produktif bekerja dari pagi sampai sore, kesibukan kerja kadang membuat waktu menulis juga sempit. Saya juga mendapat banyak kritikan. 

Kritikan tentang puisi saya yang tidak bermutu, hanya mengejar rating. Saya pernah terpuruk lama dengan kritikan ini. Apa saya salah jika blogwalking, mengunjungi artikel rekan-rekan semua? Saya tidak marah cuma karena saya cengeng dan baper menahun, saya lama tercenung. Kemudian saya ditantang, menunjukkan mutu puisi saya dengan harus headline. Memang tombol headline siapa yang pegang? Apa yang terjadi? Saya malah tidak bisa menulis sebaris puisipun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun