Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tiga Bicara Hujan dan Ayah Tuah

12 Agustus 2021   15:42 Diperbarui: 12 Agustus 2021   15:56 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini saya sangat senang, kiriman buku dari Ayah Tuah berupa antologi puisi dengan judul "Tiga Bicara Hujan" sudah sampai. Walaupun kemaren saya sempat bersitegang dengan jasa kiriman kilat yang tidak mau antar ke rumah, dengan alasan karena kiriman alamatnya di kantor dan kantor tutup kemaren, libur 1 Muharram. Akhirnya Kamis, diantarlah buku kiriman dari Ayah Tuah ke kantor saya.  Hari ini saya sudah selesai membaca buku antologi puisi ini.

Ayah Tuah, saya mengenal dalam sebuah WhatsApp grup Kompasianer dan seperti umumnya dalam sebuah grup, lebih banyak menyapa di grup. Sampai suatu ketika saya keluar dari grup tersebut, dan yang pertama kali menanyakan kenapa saya keluar dari grup adalah Ayah Tuah. Ayah Tuah, menurut saya pribadi, tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Beliau menghormati keputusan saya keluar dari grup. 

Saya juga tidak begitu intens berkomunikasi dengan Ayah Tuah, tapi Ayah Tuah selalu mengoreksi kata-kata yang salah di puisi saya. Contoh bergeming dan tak bergeming, saya sering menganggap tak bergeming itu diam. Ternyata yang benar adalah bergeming yang artinya diam. Dan banyak koreksi yang lain lagi. 

Saya menyukai puisi yang sederhana. Saya lebih banyak berkiblat dengan puisi dari Ikhlas El Qasr dan Ayah Tuah. Saya tidak mengatakan penulis lain tidak bagus. Tetapi saya menyukai puisi dari Ikhlas dan Ayah Tuah. Salah satu cara saya mendukung mereka adalah ikut mengapresiasi akan buku-buku hasil karya mereka. Buku kumpulan puisi "Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu" karya Ikhlas, saya sudah memilikinya dan bangga membacanya.

Begitu juga antologi puisi Tiga Bicara Hujan karya Ayah Tuah, dibaca sambil ngopi dan hujan juga turun pas banget. Saya bukan seorang penilai puisi, saya penikmat puisi. Puisi-puisi karya Ayah Tuah dalam buku ini lebih banyak tentang kondisi sosial di masyarakat. 

Kita adalah orang-orang yang sibuk bertengkar
seperti halnya kaum Barbar. Menari, mabuk, menertawakan sesuatu di tengah yang terbakar.
Lantas membuat dinding tinggi-tinggi. Sebagai garis penanda di sana dan di sini
(Kita Waktu Kata/Ayah Tuah)

Dan saya mulai mencari, apakah ada puisi romantis dari Ayah Tuah. Hmm mungkin puisi tentang seorang ibu ini sedikit romantis. Karena sesungguhnya Ayah Tuah mengaku tidak bisa membuat puisi romantis.

Bila air mata berasal dari kerling bidadari, mungkin ia meluncur lewat pelangi. Menjadi hiasan di sepasang mata bocah. Penuh warna gelak tawa
Bila air mata turun di pagi hari, mungkin ia berbentuk embun yang terpantul dari doa seorang ibu
(Riwayat Air mata/Ayah Tuah)

Puisi Tiga Bicara Hujan sendiri tetap masih menyorot kondisi sosial masyarakat kita. Hujan bisa dianalogikan dengan kesedihan. 

Sebuah puisi seorang politisi sebuah tivi
Tak bisa menangkap hujan
di sudut mata berijazah esde hampir jatuh
Hari ini sebuah bangku esempe telah luruh
(Tiga Bicara Hujan/Ayah Tuah)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun