Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Noni Fenna, Tumpah Darahku Indonesia

15 Agustus 2020   20:10 Diperbarui: 15 Agustus 2020   20:06 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi https://it.123rf.com

Namanya Noni Fenna. Apa masih muda belia? Tidak, Noni Fenna hampir seratus tahun usianya. Seorang perempuan Belanda yang menikah dengan pria pribumi.

Kala itu, Noni Fenna muda bersirobok pandang dengan seorang pemuda bernama Raden yang memandang sinis padanya dan berujar, "Bangsamu, bangsa penjajah. Enyahlah dari tanah kami."  Noni Fenna terhenyak, alangkah beraninya pemuda ini. Ada rasa sakit hati namun terselip simpati pada Raden. Tapi dia menyadari, siapa dia dan siapa Raden.

Dia mencoba melupakan Raden, hingga hari berdarah itu tiba. Rumah tempat menetap Para Kompeni, begitu orang pribumi menyebut, diserang ditengah malam buta. Orangtuanya terbunuh dan dirinya meringkuk, menggigil dan berteriak histeris. Sampai seseorang membungkam mulutnya, menyelamatkannya dan membawanya lari. Dan seseorang itu adalah Raden.

Raden menyembunyikannya di rumah ibunya, seorang janda tua. Noni Fenna sangat membenci keluarga ini. "Bangsamu membunuh keluargaku" ujar Noni Fenna. Pernah suatu malam, dia menggenggam sebilah belati seraya mendekati Raden. Wajah lembut dalam lelap membuatnya terpaku. Dipandanginya nanar sambil membatin, "Aku jatuh cinta pada pria ini."

Walaupun begitu, Raden telaten mengurusnya. Membujuk untuk makan, bahkan mandi. Mandi di sungai sangat menjijikkan baginya. Bercampur baur dengan banyak orang. Noni Fenna sering mengintip di balik bilik bambu, melihat Raden mengurus sang Ibu. Dan menyadari bahwa ayah Raden juga mati oleh bangsanya.

Suatu malam, Noni Fenna berbicara dengan Raden. "Aku tak ingin kembali ke Belanda, jika suatu saat Kompeni menemukan aku disini. "Maukah kau menikah denganku?" Raden terkejut, mengangguk cepat.

Raden sangat membahagiakan dirinya. Ternyata, Raden pun jatuh cinta pada pertemuan pertama mereka. Raden sangat mencintainya. Namun Raden tetap lebih mencintai tumpah darahnya.

Hening malam di tahun 1938,  Raden meminta izin untuk pergi berjuang. "Kau harus merelakan aku pergi, ini demi kemerdekaan tanah air kami" ujar Raden. Noni Fenna tak kuasa menahan. Dan itulah malam terakhir bersama Raden. Raden tak pernah kembali. Tak ada jejaknya, ataupun mayatnya.

Setiap tanggal 17 Agustus, Noni Fenna selalu mengenang sang pejuang. Aku sudah berjanji padamu, tak akan kembali ke negeriku. Inilah tanah airku saat ini. Tanah air dimana aku menunggumu pulang. Tanah air dimana tempat aku dan dirimu berpulang. Aku dan dirimu akan bersatu di tanah ini.

Air mata Noni Fenna berlinang. Aku akan terus mengenangmu dan terngiang suaramu. "Noni Fenna, aku tak akan mengubahmu menjadi pribumi. Tetaplah memakai namamu, Noni Fenna". Iya, namaku memang Belanda tapi tumpah darahku Indonesia.

FS, 15 Agustus 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun