Mohon tunggu...
Faruq Huda Andriyono
Faruq Huda Andriyono Mohon Tunggu... Mahasiswa - KKN TEMATIK MBDPE_MBKM

Buat jadi mahasiswa berguna

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Obat Covid, antara Mitos atau Fakta

28 Juli 2021   22:55 Diperbarui: 28 Juli 2021   23:16 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahun 2020 dunia dibuat kaget dengan keberadaan suatu varian virus baru bernama Corona. Penyakit yang disebut sebgai COVID-19, sebagai virus yang menyerang Cina, yang ditermukan pada bulan November 2019 tepatnya di kota Wuhan. Corona yang semula dianggap virus biasa ternyata dapat membunuh manusia sekaligus menyebar sangat cepat. Gejala yang muncul menyerupai flu, masuk angina, dan demam. Virus ini luar biasa karena hanya dalam waktu relatif singkat, virus ini sudah merenggut ribuan nyawa bukan hanya di Cina tetapi juga di berbagai negara di dunia seperti Italia, Iran, Korea Selatan, Inggris, Jepang, Amerika Serikat, Jerman, dan negara lainnya termasuk Indonesia.

Sudah terhitung lebih dari satu tahun setelah World Health Organization (WHO) menetapkan virus COVID-19 sebagai pandemi global. Penanganan dari Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk memerangi virus ini mulai dari adaptasi new normal, program vaksinasi  sampai yang paling terbaru yaitu penerapan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Semua itu dilakukan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran dari virus COVID-19. Pandemi COVID-19 menjadikan seseorang harus menjauh dari kerumunan. Karena itu hampir seluruh negara melakukan kegiatan virtual untuk menggantikan kegiatan tatap muka. Namun, datangnya pandemi yang secara tiba-tiba ini tentu membawa masalah yang tidak bisa diremehkan.

4 Juli 2021 tercatat kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai 2.284.084 jiwa, dengan rata-rata kasus terkonfirmasi positif per hari mencapai lebih dari 20 ribu jiwa. Semakin banyaknya pasien COVID-19 maka ini memberikan dampak yang sangat ekstrim kepada dunia kesehatan terutama di bidang fasilitas/sarana dan prasarana. Rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia kewalahan dengan munculnya pandemi dikarenakan tidak adanya persiapan mengenai hal ini.

Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah pasien positif yang meningkat juga diiringi jumlah pasien sembuh. Kesembuhan pasien ini tentunya hasil usaha dari para unsur tenaga kesehatan dalam perawatan, penangan, terapi, termasuk juga obat-obatan yang diberikan kepada pasien positif corona. Timbul sebuah berita palsu di masyarakat tentang berbagai macam obat-obatan yang dapat menangkal, menangani atau bahkan membunuh virus corona. Semua berita palsu ini beredar luas dengan cepat di masa kini dimana menyebarkan suatu informasi bukanlah hal yang sulit.

Fenomena ini di dasari oleh ketakutan masyarakat terutama di kalangan menengah ke bawah. Sebagian dari masyarakat Indonesia di kalangan menengah ke bawah khawatir selain karena pandemi ini menyebabkan kematian, juga dengan biaya yang mahal harus dikeluarkan apabila sampai terkena penyakit pandemi corona seperti biaya tes SWAB, PCR, penggunaan oksigen, ventilator. Sehingga masyarakat selalu mencoba untuk mencari cara alternative menghadapi pandemi ini, padahal WHO tidak merekomendasikan perawatan mandiri dengan obat apa pun, termasuk antibiotik, sebagai pencegahan atau pengobatan untuk COVID-19. Lantas timbul pertanyaan, bagaimana cara pasien positif corona bisa sembuh? Apa mereka tidak diberi obat-obatan? Jika diberi obat tersebut apakah ditujukkan untuk virus corona atau hal lain?

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah merilis rekomendasi vitamin dan obat-obatan sebagai perawatan pasien COVID-19. Pertama ada vitamin C, vitamin yang mengandung antioksidan tinggi dan memiliki efek antiinflamasi. Selain itu, vitamin C berfungsi untuk meningkatkan imun tubuh yang bisa membantu tubuh untuk melawan virus SARS-CoV-2. Selanjutnya ada vitamin D, sebuah jurnal penelitian yang dipublikasikan di NCBI menyebutkan bahwa vitamin D bisa meningkatkan limfosit T yang berfungsi untuk melawan virus. Selain itu, kekurangan vitamin D juga mengakibatkan peningkatan sitokin yang memicu pneumonia dan membuat gejala covid bertambah parah.

Selajutya ada Zinc, tingginya konsentrasi zinc pada intraseluler disebut mampu menghambat replikasi RNA virus. Sebuah penelitian terbatas menunjukkan bahwa asupan zinc yang dikombinasikan dengan vitamin C bisa mengurangi gejala pasien hingga 50 persen pada hari ke 5. Azitromisin yang merupakan sebuah antibiotik yang fungsinya untuk membunuh bakteri. Walaupun COVID-19 adalah infeksi virus, namun pada banyak kasus covid terjadi infeksi sekunder akibat bakteri. Pada pasien dengan gejala ringan hingga kritis yang diduga ada infeksi bakteri bisa diberikan obat ini.

Oseltamivir, diberikan dalam rangka mengobati infeksi influenza yang mungkin menyertai Covid-19, maka dari itu obat ini dianggap berpotensi meringankan gejala pada pasien yang terkonfirmasi positif. Selain itu ada Fapiviravir, Penggunaan obat ini disebut cukup efektif untuk mengobati COVID-19, namun untuk mengetahui efektivitas, keamanan, dan efek sampingnya masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Untuk penggunaannya, dokter akan memilihkan salah satu dari antivirus oseltamivir dan favipiravir yang lebih cocok dengan gejala yang pasien alami.

Selanjutnya ada remdesivir, Remdesivir adalah antivirus yang tersedia dalam sediaan vial sehingga hanya diberikan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan gejala sedang, berat, dan kritis dengan saturasi oksigen di bawah 94 persen. Obat ini disebut efektif menurunkan angka kematian pada kasus berat. Cara kerja obat ini mirip dengan favipiravir, yaitu dengan menghambat RNA dependent RNA polymerase. Proses ini akan membuat replikasi RNA virus terganggu.

Kemudian, ada Actemra dan Kezavra. Obat ini baru saja masuk rekomendasi WHO. Actemra mengandung Tocilizumab, sedangkan Kevzara mengandung Sarilumab. Kedua obat ini merupakan antibodi monoklonal yang berfungsi menurunkan interleukin 6. Pada pasien covid dengan gejala berat dan kritis, ditemukan tingginya interleukin 6 yang bisa menyebabkan badai sitokin dan memicu acute respiratory distress syndrome (ARDS).

Ada juga yaitu kortikosteroid, obat yang mengandung steroid yang berfungsi sebagai antiinflamasi. Pada hasil penelitian yang dirilis oleh WHO, penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan gejala sedang dan berat mampu menurunkan angka kematian pasien. Selain itu, penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan gejala sedang dan berat bisa menurunkan risiko penggunaan ventilasi mekanik. Namun, kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk pasien dengan gejala ringan karena pada beberapa kasus ringan, obat ini justru meningkatkan risiko kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun