Mohon tunggu...
Faruq Arjuna Hendroy
Faruq Arjuna Hendroy Mohon Tunggu... Relawan - Pemerhati isu sosial politik dan keislaman

Kerugian terbesar dalam hidup adalah ketika otak yang cerdas terpenjara dalam tubuh yang malas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Perguruan Tinggi bagi Anak Korban Terorisme

5 Agustus 2019   13:08 Diperbarui: 5 Agustus 2019   13:17 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan merupakan bekal penting bagi setiap orang agar dapat meningkatkan taraf hidup di masa depan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan hidup. Bisa dibilang, belajar di perguruan tinggi menjadi impian banyak orang untuk meraih cita-cita. Meskipun demikian, beberapa orang mengalami kendala dalam melanjutkan studi ke perguruan tinggi, misalnya seperti anak para korban terorisme.

Sulitnya Anak Korban Meraih Pendidikan Tinggi 
Secara terminologi, anak para korban terorisme dapat dikategorikan sebagai korban tak langsung. Mereka tidak terkena dampak langsung dari aksi terorisme, akan tetapi kehilangan orangtua akibat menjadi korban tewas dalam peristiwa nahas itu. Tak jarang, dengan menjadi korban tak langsung, anak para korban terorisme mengalami kesulitan ekonomi karena kehilangan sosok tulang punggung keluarga.

Di antara anak para korban itu, ada yang kehilangan sosok ayah yang selama ini berperan sebagai tulang punggung keluarga. Untuk kondisi ini, sang ibu terpaksa mengambil alih peran tulang punggung keluarga yang ditinggalkan oleh sang ayah. Berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhan keluarga tentu bukan perkara mudah, apalagi jika sebelumnya sang ibu terlanjur bergantung kepada sang ayah dalam urusan pemenuhan nafkah. Besar kemungkinan, si anak juga akan ikut bekerja membantu sang ibu.

Ada juga anak yang bahkan kehilangan kedua orangtuanya sekaligus. Akibatnya, si anak harus berjuang untuk menghidupi diri sendiri. Apalagi jika mempunyai tanggungan seperti adik-adik yang masih kecil, misalnya. Mau tidak mau, kondisi demikian semakin memaksa mereka untuk mengambil peran sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga.

Dari kondisi yang disebutkan di atas, dapat ditarik satu benang merah yang sama; anak para korban terorisme memiliki peluang yang sangat kecil--jika enggan disebut tidak ada sama sekali--untuk dapat menikmati akses pendidikan di perguruan tinggi. Dengan segala keterbatasan yang ada, mereka tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan. Padahal kita sendiri menyadari betapa besarnya biaya belajar di perguruan tinggi.

Bagi mereka yang harus membantu memenuhi kebutuhan keluarga, waktu dan tenaga mereka hanya habis untuk bekerja. Uang yang didapat dari hasil bekerja pun juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tanpa ada yang bisa disisihkan untuk biaya lanjut ke perguruan tinggi. Padahal, tanpa pendidikan di perguruan tinggi, sulit kiranya membayangkan anak para korban dapat meningkatkan taraf hidup di masa depan.

Bagaimana Peran Pemerintah? 
Selama belasan tahun, Pemerintah terkesan abai dengan hak pendidikan tinggi bagi anak para korban terorisme. Dari beberapa kisah korban, didapati ada yang menguliahkan anak mereka tanpa uluran tangan dari pemerintah. Salah satunya Wayan Rasni Susanti. Dilansir dari situs Aliansi Indonesia Damai (AIDA), wanita yang kerap disapa Rasni ini kehilangan suaminya dalam peristiwa Bom Bali I. Sejak saat itu, Rasni harus berjuang sendiri untuk menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil.

Dengan segala keterbatasan ekonomi, Rasni berupaya sekuat tenaga untuk mengantarkan ketiga anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Hal ini harus ia lakukan, mengingat mendiang suaminya pernah berharap agar ketiga anaknya bisa menyandang gelar sarjana di kemudian hari. Ia bekerja keras dengan cara berjualan pakaian keliling. Tanpa kerja keras, agaknya mustahil Rasni bisa mewujudkan harapan suaminya itu.

Cerita yang serupa juga dialami oleh Rencini, ibu tiga anak yang juga kehilangan suaminya akibat peristiwa Bom Bali I. Meski harus berjuang seorang diri, Rencini tetap memastikan ketiga anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik, bahkan hingga ke perguruan tinggi. Ia selalu memotivasi anak-anaknya agar tidak menyerah dengan keadaan. 

Saat ini, anak pertamanya sudah meraih gelar sarjana. Sedangkan anak keduanya berharap bisa meraih beasiswa perguruan tinggi untuk meringankan beban ibunya. Selain dari kisah Rasni dan Rencini ini, penulis yakin masih banyak anak para korban terorisme di luar sana yang juga susah payah mengakses pendidikan tinggi.

Kabar baiknya, dalam dua tahun terakhir, Pemerintah tampaknya mulai peduli dengan hak pendidikan tinggi bagi anak para korban terorisme. Dilansir dari Kompas.com, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek) Mohamad Nasir menjanjikan program beasiswa bagi anak para korban terorisme. Janji itu ia sampaikan dalam acara Silaturahmi Kebangsaan pada 28 Februari 2018. Menristek akan memberikan beasiswa Bidikmisi bagi anak para korban terorisme yang saat ini sedang atau akan belajar di perguruan tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun