Mohon tunggu...
farras zidane
farras zidane Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Be a force of nature

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lupa Akan Sejarah: Lingkaran Setan Kekeliruan dalam Menangani Pandemi

13 April 2021   02:40 Diperbarui: 13 April 2021   02:41 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh karena itu, sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai asal muasal wabah yang disebabkan oleh virus H1N1 ini (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, 2020). Hal yang lebih membuat wabah ini lebih menyedihkan lagi mengena wabah ini adalah waktu terjadinya yang bersamaan dengan peristiwa Perang Dunia 1, yaitu pada tahun 1918-1919. Sehingga ada pihak yang berpendapat bahwa kasus Flu Spanyol ini dibawa oleh pasukan tentara Amerika Serikat yang mengirim pasukannya ke Eropa saat itu. Sedangkan di Nusantara sendiri penyebaran virus ini terjadi melalui jalur darat.

Pada mulanya, pemerintah Hindia Belanda melalui Asosiasi Dokter Batavia tidak menganggap flu ini berbahaya. Namun pada 1918 kasus yang pertama kali muncul di Sumatera Utara mulai menyebar ke kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti kota Bandung, Purworejo, Kudus, Surabaya, dan lain-lain (Halodoc, 2020). Hingga pada akhirnya pada 16 November 1918, pemerintah mendirikan Influenza Commissie untuk menginvestigasi akar permasalahan dan gejala-gejala dari Flu Spanyol tersebut. 

Selain itu, seperti negara-negara di belahan dunia lainnya, pemerintah Hindia Belanda juga menghimbau masyarakat untuk menggunakan masker dan dilakukan juga penutupan sekolah (Historia, 2021). Selain itu, pemerintah pun mengeluarkan Influenza Ordonnantie yang mengatur kegiatan pelabuhan dengan sanksi berupa denda atau pemenjaraan. 

Hal lain yang dapat dipelajari dari wabah ini adalah penempatan kedudukan perekonomian di atas kesehatan masyarakat. Sebenarnya berbagai peraturan mengenai penanganan wabah telah berhasil disusun pada 1919 oleh dr. W. Thomas de Vogel dan tim. Namun, protes dari para pelaku usaha yang menganggap peraturan tersebut memastikan bisnis mereka membuat pengesahan peraturan ini dilakukan pada tahun 1920. Hingga pada akhirnya korban sebanyak 4,3 juta jiwa (Historia, 2021). Juga, saat itu pemerintah tidak mengeluarkan sebuah kebijakan larangan masyarakat untuk berkumpul, sehingga penyebaran Flu Spanyol menjadi semakin menggila. Hal tersebut karena pemerintah takut larangan tersebut akan menimbulkan keresahan di masyarakat (Covid19.go.id, 2020)

Meskipun begitu, terdapat kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang bisa kita acungi jempol, yaitu kebijakan dalam pengedukasian. Berdasarkan penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Syefri Luwis, seorang peneliti sejarah wabah, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan dua buah buku mengenai wabah dengan pendekatan lokal dan budaya. 

Hal itu dilakukan dengan penggunaan bahasa Jawa Honocoroko dan juga memasukan tokoh-tokoh wayang sehingga masyarakat dapat dengan mudah mencerna informasi yang ada. Selain itu juga, pemerintah Hindia Belanda membuat terobosan dengan penyebaran kuesioner di berbagai belahan daerah Hindia-Belanda untuk diisi oleh para dokter guna mengetahui cara mereka dalam menangani wabah. Dengan begitu pemerintah Hindia-Belanda dapat merumuskan berbagai kebijakan. Meskipun bergitu, lambatnya kinerja pemerintah saat itu membuat pencapaian-pencapaian ini menjadi kabur.

Apabila kita perhatikan, respons dan penanganan wabah Flu Spanyol saat itu memiliki kesamaan dengan respons dan penanganan wabah COVID-19. Hal tersebut meliputi keterlambatan respons pemerintah, penutupan sekolah, himbauan penggunaan masker, pengawasan pelabuhan, dan ketakutan akan dampak wabah terhadap perekonomian. Keterlambatan respons pemerintah dapat kita lihat ketika pemerintah menolak mentah-mentah pernyataan peneliti dari Harvard mengenai COVID-19 sudah memasuki Indonesia sejak bulan Maret 2020. 

Menteri Kesehatan saat itu, Terawan Putranto menganggap bahwa pernyataan para peneliti Harvard sebagai bentuk penghinaan dan diskreditasi. Beberapa hari kemudian, sikap keras kepala akhirnya lenyap ketika dua kasus positif COVID-19 dilaporkan terjadi di Indonesia (Tirto Id, 2020). Keterlambatan itu menjadi salah satu penyebab melambung tingginya kasus COVID-19 di Indonesia. Selain itu, himbauan penggunaan masker pun dilakukan untuk menghindari penyebaran penyakit ini. Hal tersebut karena Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov-2).

Berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda yang saat itu tidak melarang masyarakat untuk berkumpul, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan social distancing. Bahkan, pemerintah pun mengadakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran COVID-19. PSBB diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum; serta pembatasan moda transportasi. 

Pemberlakuan itu didasarkan oleh pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, dan pertimbangan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Harapan dari pemberlakuan PSBB adalah dapat menurunkan laju pertumbuhan kasus COVID-19 yang semakin hari makin tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun