Mohon tunggu...
farras zidane
farras zidane Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Be a force of nature

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lupa Akan Sejarah: Lingkaran Setan Kekeliruan dalam Menangani Pandemi

13 April 2021   02:40 Diperbarui: 13 April 2021   02:41 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penyakit pes sendiri dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan bagian tubuh yang terinfeksi. Jenis-jenis tersebut di antaranya; pes bubonic (paling sering terjadi), pes septicemic (ketika bakteri memasuki sistem peredaran darah), dan pes pneumonik (sudah menyerang paru-paru. Penyakit ini memiliki gejala-gejala seperti, demam, munculnya bengkak, pendarahan di berbagai daerah tubuh, hingga sesak nafas (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, 2020). 

Penyakit ini semakin berbahaya karena seringkali disebarkan oleh tikus hitam yang begitu dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang baik sangat perlu dilakukan dalam menangani wabah pes.  Pada masa wabah Justinian, pemerintahan Kekaisaran Romawi hanya mengeluarkan kebijakan untuk memisahkan mereka yang sakit dengan yang tidak, Sehingga banyak pihak meyakini bahwa wabah ini berakhir pada saat itu karena orang-orang yang terinfeksi dan masih hidup menghasilkan imunitas yang kuat untuk melawan penyakit pes (Rusdi, 2020).

Sedangkan kebijakan penanganan wabah pada wabah pes di Eropa pada abad ketiga belas yang paling terkenal adalah pengisolasian para pelaut selama 30 hari atau dikenal sebagai trentino dalam hukum Venesia. Kebijakan tersebut diciptakan oleh para pejabat di kota pelabuhan Ragusa yang dikuasai Venesia. Kemudian, pengisolasian ditambah menjadi 40 hari dan dikenal sebagai quarantine, di mana hal tersebut menjadi asal dari kata karantina (National Geographic, 2020). 

Akan tetapi, tidak diketahui pasti kapan wabah pes ini benar-benar berakhir di Eropa. Beberapa ratus tahun kemudian, penyakit pes menyebar di Indonesia. Saat itu negara ini masih menjadi Nusantara yang dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Sehingga segala kebijakan penanganan yang dilakukan merupakan produk langsung dari mereka. Salah satu kebijakannya adalah dengan mendirikan lembaga khusus untuk menangani pes, yaitu Dienst der Volksgezondheid yang memiliki tugas untuk melakukan tindakan preventif dan kuratif.  Tindakan tersebut meliputi pengedukasian masyarakat, perawatan warga yang terinfeksi, pendirian sarana prasarana kesehatan, dan pembersihan rumah pribumi agar tidak menjadi sarang tikus (Kur'anania dan Rahayu, 2019).

Selain itu, di wilayah afdeeling Kediri, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang hanya memperbolehkan penggunaan kereta api bagi setiap orang yang keluar masuk daerah tersebut untuk mempermudah pemeriksaan orang-orang yang terinfeksi pes. Berbagai kebijakan di atas tidak lepas dari peran Inspektur Kepala BGD saat itu, dr. de Vogel. Ia juga memerintahkan didirikannya suatu tempat khusus isolasi untuk mengkarantina para penderita pes. Akan tetapi penanganan wabah pes oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat itu masih jauh dari kata sempurna. 

Perlakuan diskriminatif masih terjadi saat itu, di mana adanya perbedaan penanganan antara warga pribumi dengan orang Eropa dan orang Timur Asing. Hal tersebut menyebabkan korban dari pihak pribumi berjatuhan jauh lebih banyak. Jika diperhatikan, terdapat beberapa kebijakan saat itu yang memiliki kesamaan dengan penanganan wabah COVID-19 di Indonesia saat ini (Kur'anania dan Rahayu, 2019). Di antaranya kebijakan karantina, pengedukasian masyarakat, dan pembatasan transportasi. Namun apakah kesamaan tersebut terjadi karena efektifnya kebijakan atau karena kurangnya inovasi pemerintah?

Wabah pes dan wabah COVID-19 merupakan Kejadian Luar Biasa. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan, Kejadian Luar Biasa adalah meningkatnya kesakitan dan/atau kematian yang bermakna epidemiologi pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu sehingga menjurus pada wabah. 

Dalam peraturan tersebut juga cara-cara menanggulangi Kejadian Luar Biasa (KLB) di antaranya; penyuluhan kepada masyarakat; pengobatan dan pengisolasian penderita (karantina); dan upaya penanggulangan lainnya. Poin-poin dalam peraturan tersebut sama dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi wabah Pes di abad ke-19. Penyuluhan masyarakat akan penyakit yang mewabah sangatlah penting karena dengan pengetahuan tersebut masyarakat dapat menghindari penyakit itu dan mengenali gejala-gejala penyakit apabila mengalaminya lalu melapor secara mandiri kepada sarana kesehatan seperti rumah sakit. Oleh karena itu dibutuhkan transparansi informasi dan kebijakan mengenai wabah oleh pemerintah agar masyarakat memiliki pengetahuan akan permasalahan yang sedang terjadi.

Hal yang menjadi tantangan dalam pengedukasian masyarakat saat ini dibandingkan masyarakat saat itu adalah penyebaran berita hoaks. Kominfo mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 2 ribu berita hoaks selama 2020 (Liputan6, 2020). Hal ini sangat disayangkan, padahal saat kondisi seperti ini, informasi memiliki peran penting dalam menghadapi penyakit yang sedang menyebar. 

Sehingga masyarakat diharapkan memiliki kemampuan dan kecerdasan untuk memilah informasi yang benar atau palsu. Selain itu, kesamaan lainnya adalah pembentukan satuan tugas khusus untuk menangani wabah. Pada masa wabah pes, pemerintah Hindia Belanda membentuk lembaga Dienst der Volksgezondheid (Kur'anania dan Rahayu, 2019), sedangkan dalam wabah kali ini pemerintah Indonesia membentuk Satuan Tugas Penanganan COVID-19 (Detiknews, 2020).

Selain wabah pes, umat manusia pun pernah menghadapi wabah lain yang begitu dahsyat akibatnya. Wabah tersebut adalah wabah Flu Spanyol. Meskipun dinamakan Flu Spanyol, namun sebenarnya penyakit ini bukan berasal dari negara Spanyol. Penamaan tersebut karena pemberitaan pertama kali mengenainya dilakukan oleh salah satu kantor berita di Spanyol pada 1918 (Halodoc, 2020). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun