Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Modern (Parlemen) Milik Islam

18 September 2010   05:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:09 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_261393" align="alignleft" width="275" caption="Parlemen Modern Indonesia (primaironline.com)"][/caption] Konsep perwakilan dalam artian seseorang mewakili orang lain adalah istilah yang dikenal dalam literartur politik politik modern (Demokrasi tak langsung). Karena pada zaman Plato cs atau Yunani Kuno tidak mengenal konsep perwakilan tersebut. Dalam literatur barat parlemen paling awal ada sejak Magna Charta pada abad ke-13 di Inggris. Tetapi bagi kita yang membaca sejarah dan biografi Muhammad SAW beserta Khulafaur Rasyidin maka barat harus melakukan koreksi ilmiah secara historis. Jika kita membaca Sirah Nabawiyah dan biografi Khulafaur Rasyidin jelaslah ada beberapa peristiwa yang mengandung praktik-praktik demokrasi tak langsung (modern) dan bahkan kontrak sosial (perjanjian-perjanjian), misalkan pada peristiwa peletakan hajar aswad, Hudaibiyah sampai pemilahan khalifah Dalam Islam, penanaman bibit parlemen, walau tidak seperti parlemen masa kini, sebenarnya telah disemai ketika Nabi Muhammad SAW meminta wakil-wakil kabilah yang bersengketa untuk meletakkan hajar aswad ke tempat semula, yaitu Ka'bah. Kebiasaan pelibatan berbagai kabilah dalam pemecahan masalah terus berlanjut hingga Rasulullah hijrah ke Yastrib yang kemudian di ganti menjadi Madinah (kota Nabi). Disini, selain sebagai pemimpin agama, Rasulullah juga menjadi pemimpin negara. Rasulullah menadatangani berbagai perjannjian (kontrak sosial) dengan berbagai suku dan agama. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat segera menggelar musyawarah untuk menentukan pemimpin umat atau kepala negara. Abu Bakar as-Shidiq diangkat sebagai khalifah pertama melalui pemilihan di pertemuan Bani Saadah. Ada lima orang pemilih dan wakil dari kelompok dan suku: Umar bin Khottob, Abu Ubaidillah bin Jarah (Muhajirin), Basyir bin Saad (Anshor dari suku Khazraj), Asid bin Khudair (Anshor dari Aus) dan Salim. Umar bin Khottob menjadi khalifah kedua tidak melalui pemilihan seperti Abu Bakar. Tapi di dasarkan pada wasiat Abu Bakar, yang ditetapkan melalui permusyawaratan tertutup dengan para sahabat senior. Antara lain: Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan dari Muhajirin dan Asid bin Khudair dari Anshor. Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga melalui proses yang tidak sama dengan Abu Bakar dan Umar. Dia dipilih oleh sekelompok orang yang nama-namanya ditentukan oleh Umar sebelum wafat. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdullah bin Umar (putra Umar yang tanpa hak suara). Mereka berasal dari Muhajirin atau Quraisy. Dasar penentuan 'wakil' pemilih ini adalah pernyataan Nabi, bahwa mereka adalah calon penghuni surga, bukan karena masing-masing mewakili kelompok atau suku tertentu. Dan Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat melalui pemilihan yang penyelenggaraanya jauh dari sempurna. Orang pertama yang berbaiat kepada Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah, lalu diikuti oleh para tokoh senior lainnya kecuali Muawiyah bin Abi Sufyan (keluarga Usman) yang menjadi oposisi dan kemudian kelak mendirikan dinasti Umayyah. Penganngkatan empat sahabat Nabi itu sebagai khalifah, khususnya Abu Bakar, Umar dan Usman, tentu saja bukanlah melalui suatu pemilihan berdasarkan pemungutan suara seperti terjadi dalam forum demokrasi parelementer di masa kini. Juga tidak ada upaya partai untuk meminta mandat rakyat (umat). Namun, paling tidak peristiwa pengangkatan khalifah ini menjadi bibit pemilihan seorang pemimpin yang diwakili beberapa tokoh atau berdasarkan konsep perwakilan. Dalam kontek kekinian seperti memilih presiden secara tak langsung. Dengan demikian Jauh sebelum barat mengenal demokrasi tak langsung Rasulullah dan sahabatnya telah terlebih dahulu mempraktikkannya. Parlemen dalam konteks kekikinian dan kedisinian telah menyalahgunakan mandat berupa kedaulatan rakyat karena ada dinasti oligarki dalam partai politik sehingga partai politik tidak peka terhadap aspirasi rakyat. Ditambah lagi proses pemilu yang diwarnai kecurangan-kecurangan dan money politics merupakan sistem politik yang sangat membodohi, mengorbankan, mengeksploitasi dan menipu rakyat. Sistem parlemen yang didasarkan atas propaganda untuk memenangkan suara dalam pemilu disebut sistem demagogis dimana suara dapat dibeli dan dipalsukan. Rakyat miskin gagal berkompetisi dalam pemilu, dan si kaya akan selalu menjadi pemenang. Jika hal ini dibiarkan maka yang ada 'perwakilan adalah penipuan'. Maka tidak heran jika parlemen bisa berubah jadi sarang koruptor. Teringat ucapan Qhadafi dalam buku Menapak Jalan Revolusi, "Bentuk kediktatoran paling tiran yang dikenal di dunia ini berada di bawah bayang-bayang parlemen.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun