Mohon tunggu...
Fariz
Fariz Mohon Tunggu... Insinyur - Mahasiswa

Tidak ingin letih? Mati

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Haruskah Transit di Singapura?

7 November 2019   18:39 Diperbarui: 7 November 2019   18:44 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Libur natal sebentar lagi tiba. Semua berlomba-lomba memikirkan tempat apa yang akan dituju. Luar negeri adalah salah satunya. Australia, Jepang hingga Belanda menjadi tempat berlabuhnya mereka. Namun miris, sedikit yang memiliki tulisan Garuda Indonesia di logo tiketnya. Kira-kira apa penyebabnya?

Garuda, maskapai kebangsaan Indonesia Raya berevolusi dari penerbangan biasa menjadi antarbenua. Namun, kini mereka dihadapi persoalan. Kerasnya industri aviasi menyebabkannya rugi berkali-kali.

Di utara Indonesia ada sebuah negara kecil namun raksasa, raksasa di sumber daya manusia dan ekonominya. Banyak WNI berlalu-lalang di dalamnya. Entah apa yang dicarinya namun begitu bahagia. Salah satunya mereka transit di sana. Mengharapkan penerbangan murah dan nyaman adalah harapannya. Memang benar, ini semua terjadi. Si singa itu menarik hati masyarakat terbuka.

Kita ambil contoh Australia. Berada di selatan Indonesia, pelancong Indonesia rela membuang waktunya untuk terbang ke Singapura terlebih dahulu. Devisa ini pun keluar begitu saja ke negeri tetangga. Mungkin maklum bagi orang biasa. Namun sayang, orang-orang kaya pun melakukannya. Sulitkah mencintai produk dalam negeri? Selain menghemat waktu, muncul kepuasan tersendiri jika menggunakan jasa perusahaan dalam negeri.

Orang-orang melupakan Denpasar, kota pariwisata yang menawarkan berbagai penerbangan menuju penghujung Australia. Memang membuat repot karena jarang yang mengkoneksikan penerbangannya, misal dari Jakarta ke Australia via Denpasar. Namun mengapa tidak melakukannya sendiri. Toh, ini semua makin dipermudah dengan pemesanan tiket secara daring. Klik klik dan semua beres.

Bergeser sedikit ke Timut Tengah, kita tahu bahwa Indonesia adalah rumah bagi ratusan juta muslim. Muslim perlu melakukan ibadah ke tanah suci, tentunya dengan moda transportasi udara. Namun justru hal ini menjadi pasar yang besar bagi maskapai negara lain. Berbagai maskapai mancanegara menawarkan harga terbaik dan waktu singgah tersingkat bagi penumpang. Akhirnya mereka lebih memilih maskapai asing tersebut. Ketidakmampuan pengelolaan maskapai dalam negeri membuat dunia aviasi Indonesia menjadi sasaran empuk negara lain.

Garuda Indonesia sendiri berkali-kali menyabet penghargaan internasional. 5-stars airline adalah salah satu contohnya. Pun begitu dengan otoritas penerbangan Amerika Serikat dan Eropa yang telah memperbolehkan maskapai Indonesia terbang di atas langitnya. Hal ini perlu disosialisasikan ke masyarakat. Masyarakat tidak boleh secara terus-menerus memandang negatif apa saja yang berkaitan dengan produk dalam negeri. Masa lalu buruk sebaiknya dilupakan. Semua telah berbenah sebisa mungkin menghindari adanya kecelakaan pesawat. Semua telah berlomba-lomba menawarkan pelayanan terbaiknya kepada penumpang.

Berbicara mengenai pariwisata, Bali kalah jauh dari Bangkok yang sudah terkoneksi ke Asia, Eropa, Australia, dan bahkan Afrika. Hal ini ada korelasinya dengan jumlah wisatawan. Aviasi memengaruhi wisatawan yang berkunjung ke negeri gajah putih tersebut. Kemudahan mendapat tiket pesawat langsung dengan harga terjangkau membuat Thailand selangkah lebih maju dari Indonesia di bidang pariwisata.

Di samping itu, maskapai RI perlu berbenah. Tidak hanya dua raksasa maskapai penerbangan saja, namun semuanya. Pasar memang selalu ada. Tinggal bagaimana perubahan harus dilakukan. Perubahan besar-besaran menjadikan maskapai Indonesia maskapai kelas dunia tanpa melupakan sisi keamanan dan kenyamanan. Publikasi yang baik serta manajemen yang andal mampu membuat masyarakat Indonesia berlabuh kembali ke hati maskapai dalam negeri.

Perusahaan besar tentunya telah memiliki strategi dan amunisi. Seharusnya mereka sudah tahu bahwa unsur harga, kenyamanan, dan keamanan adalah yang mereka pilih. Sebagai perbandingan, harga tiket maskapai Malaysia maupun Singapura merupakan setengah harga dari tanah air di beberapa kondisi. 

Akibatnya, tingkat okupansi pesawat selalu tinggi dan mereka untung banyak karenanya. Siapa yang tidak mau untung? Berita kini sedang disesaki masalah keuangan maskapai Indonesia. Beberapa rute vital terpaksa ditutup demi keseimbangan pemasukan dan pengeluaran. Mungkin ini dapat menjadi cara mengembalikan kejayaan maskapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun