Mohon tunggu...
Muhammad Faris Ibrahim
Muhammad Faris Ibrahim Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seekor kutu di bulu kelinci dalam topi, yang berharap suatu saat, dapat menatap mata si tukang sulap.

Hanya manusia biasa, yang punya cita-cita bisa masuk rumah sakit jiwa, karena membaca.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Manusia Menjadi Angka

8 Agustus 2019   17:18 Diperbarui: 8 Agustus 2019   17:57 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
endchilddetention.org

Cukup aneh bukan? Manusia bisa memprediksi dengan tepat kapan Mars akan berada di langit- bahkan untuk seratus tahun ke depan. Namun, lucunya, mereka tidak pernah bisa tahu, apa yang akan terjadi pada diri mereka sendiri[i]. Manusia yang membaca tulisan ini, mungkin tidak akan pernah tahu kapan sang penulis akan membubuhkan titik di akhir kalimat yang mana. Saat sang penulis mengetik titik, barulah mereka tahu bahwa titik itu ternyata berakhir di kalimat ini.     

Namun begitulah, manusia memang adalah sepercik rahasia di ruang bernama semesta. Rahasia itu, melazimkan manusia berlaku berbeda. Makanya, menyatukan perilaku manusia dalam hukum- hukum yang disepakati adalah impian yang hampir mustahil[ii]- seperti membangun istana pasir di pesisir. Yang dibaikkan oleh manusia Barat belum tentu baik bagi manusia Timur. Yang diburukkan oleh manusia Timur belum tentu buruk bagi manusia Barat. Kedua kutub pemikiran itu selalu saling menggulung- enggan bersepakat. 

Barat kadang salah paham memahami diri, terlalu percaya diri untuk menebar bibit nilainya--yang dianggapnya paling mutakhir dan unggul--ke seluruh penjuru negeri. Timur juga demikian, kadang salah sangka membidas bibit yang tumbuh berkembang di Barat: ada yang menganggap segala bibit yang tumbuh di sana adalah bibit-bibit unggul yang wajib disadur, ada pula yang menolak mutlak bibit- bibit tersebut, padahal bisa teliti rahasia keunggulannya. (seakan) Keduanya, memang ditakdirkan untuk salah paham. 

 Manusia pernah bertenggang rasa cukup lama karena memahami keniscayaan berbeda itu. masalahnya ada, semenjak faham itu mulai tersemai ke segala penjuru; saat imperialisme menguasai kepala pemenang perang, gambaran kesakralan manusia--sebagai sepercik rahasia--disulapnya menjadi angka- angka dalam data. Manusia bukanlah lagi rahasia. Manusia didekati dengan pendekatan matematika. Jadilah manusia ditengarai hanya sebagai hewan berpikir di atas meja laboratorium saja, mesin-mesin di pabrik industri, senjata-senjata di medan perang[iii].    

Anak-anak Adam tadinya begitu mulia dengan rahasia-rahasianya--dengannya mereka bisa menengarai dirinya berbeda. Dari perbedaan itu manusia bisa tahu ada satu dzat yang tidak pernah berubah lagi berbeda-beda. Dzat itu adalah yang Maha Esa lagi Maha Tahu--Pemilik segala rahasia mereka. Namun apalah dinyana, ketika mereka para manusia jauh dari kediriannya menjadi pengampu rahasia, diam-diam faham yang meng-angkakan manusia itu mendandani mereka sebatas menjadi noktah tak berdaya di luasnya semesta.

Ketika manusia menjadi angka, sekelebat keseharian mereka tidak lebih jadi sekedar Sysiphus yang dihukum oleh dewan perkumpulan Dewa. Sysiphus sebagaimana diceritakan Homer di Odyssey-nya--dengan sabar mendorong batunya ke puncak bukit yang curam. Sesampainya di puncak, tak sempat ia menyeka keringat, batu yang didorongnya itu sudah melereng kembali ke bawah. Berulang kali ia mendorongnya ke puncak, berulang kali pula batu itu melereng ke bawah mempermainkannya.

Manusia yang telah bermetamorforsa menjadi angka sama seperti Sysiphus--terpasung dalam keseharian yang monoton. Seperti matahari, waktu dapat memperhitungkan kapan kemunculannya, dan kapan saat tenggelamnya. Sisi manusia sebagai makhluk yang penuh rahasia, meluber di dalam dua belas angka yang menghuni jam tangan. Manusia jadi makhluk yang membosankan, mudah diukur dengan penggaris, dilempar-lempar seperti barang di gudang, mudah ditebak seperti teka-teki silang di majalah anak- anak.

Mark Zuckerberg dan tuan-tuan modal berotak di seluruh dunia, tidak hanya berpangku tangan meneroka fenomena itu. Bagi mereka, fenomena itu adalah momentum sejarah yang bonavid. Masa-masa yang digadang oleh Werner Heisenberg--penemu teori mekanika kuantum--sebagai masa di mana manusia membutuh teknologi tak ubahnya seperti siput yang tak bisa hidup tanpa cangkangnya, atau seperti seekor laba-laba dengan jaringnya. Masa-masa itu telah jauh berjungkir-terbalik.

Mark dan para tuan aplikasi semisalnya memanfaatkan suasana bersejarah itu menjadi kesempatan untuk menjajakkan komiditinya. Ketika manusia tidak sanggup lagi menghentikkan kecanduannya terhadap teknologi, ketika itulah sebenarnya manusia sudah berubah menjadi teknologi itu sendiri. Suasana baru itulah yang dimanfaatkan dengan baik oleh para tuan aplikasi sambil berselancar di lorong gelombang budaya pop yang tak berkesudahan, manusia akhirnya benar-benar menjadi mesin-mesin pencetak uang tanpa disadari.

Manusia yang telah bermetamorfosa menjadi angka, absahlah kini menjadi deretan angka di rekening Mark dan koleganya. Manusia benar-benar menjadi mesin setelah menjadi angka. Para tuan aplikasi memperlakukan mereka seperti penyedot debu--yang bisa dimatikan dan dinyalakan sesuka hati. Begitupun para jenderal--mereka menghitung para pasukannya di medan perang, persis seperti pengembala di gurun yang menghitung dombanya untuk digiring masuk ke kandang. Ketika manusia ditengarai sebatas menjadi angka, manusia jadi kehilangan kemuliannya.     

Abdul Wahab Mishiri yang perkataannya dikutip oleh Malik bin Nabi di bukunya Fi Mahabil Ma'rokah memandang bahwa pandangan yang meng-angkakan manusia itu- dalam istilahnya disebut an- Nadzroh al- Kammiyyah wal Ihso'iyyah (kuantitas dan statistik) memang lahir dari keberpihakan manusia Barat terhadap materialisme "yang menjernihkan (desakralisasi) fenomena manusia sebagai fenomena yang khusus (dzohiroh mutamayyizah) di alam semesta."[iv] Manusia adalah hewan berpikir, namun pada intinya sama- tetaplah binatang. Begitu intisari pandangan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun