Mohon tunggu...
Farichal Muafy
Farichal Muafy Mohon Tunggu... Pengajar Filsafat Islam

Hobi membaca, tertarik pada kajian-kajian psikologi, sosiologi dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Terganggu oleh Keliaran Ryu Hasan?

25 Maret 2025   14:53 Diperbarui: 25 Maret 2025   14:53 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TERGANGGU OLEH KELIARAN RYU HASAN?   

Ryu Hasan, seorang yang katanya cucu salah satu pendiri NU, dokter spesialis bedah saraf, dikenal dengan analisisnya yang 'liar' dan gaya komunikasinya yang 'pedas', kerap menjadi sorotan publik karena pendapat-pendapatnya yang kontroversial. Sebagai figur yang aktif mengkritik isu-isu sosial, ia memiliki basis pengikut yang loyal sekaligus penentang yang vokal. Keliaran-nya dianggap mengganggu oleh banyak pihak, terutama mereka yang tidak suka dengan gaya bicaranya yang arogan. Bagi pendukungnya, sikap ini mencerminkan integritas dan independensi. Namun, bagi para penentangnya, cara penyampaiannya yang sarkastik (mode mengejek, atau menyindir) dapat merusak diskusi yang sehat dan menyebabkan kebencian pada sosok satu ini. Alih-alih menerima idenya, banyak orang malah ingin meninjunya. 

Berikut sepuluh kritikan 'pedas' dari para penentangnya (termasuk saya):

1. Kredensial akademik, bukan lisensi untuk menyederhanakan realita. Jika gelar dokter spesialis bedah saraf dijadikan lisensi untuk melontarkan narasi-narasi oversimplified tanpa kedalaman kontekstual, maka ilmu pengetahuan-nya hanya akan menjadi alat pencitraan. Dokter Ryu kerap mengemas pandangannya dalam kemasan 'fakta ilmiah', tetapi ia terkesan mengabaikan kompleksitas sosial, budaya, dan psikologis yang melekat pada isu-isu yang dibahas. Apakah riset peer-reviewednya benar-benar membahas dinamika masyarakat heterogen, atau sekadar memaksakan teori textbook ke dalam realita yang 'berantakan'?

2. Logika parsial yang mengabaikan kaum marjinal. Pernyataan-pernyataannya tentang isu seperti kemiskinan, kesehatan mental, atau ketimpangan seringkali terkesan tone-deaf. Misalnya, ketika ia menyatakan, "Kemiskinan adalah pilihan malas," apakah data tentang sistemik structural violence, akses pendidikan yang timpang, atau warisan kolonialisme ikut dihitung? Ilmuwan sejati tidak memotong fakta demi narasi yang clickbait.

3. Dramatisasi sains demi viralitasa adalah pola mengkhawatirkan. Setiap kali konten Ryu Hasan mulai tenggelam, muncul pernyataan provokatif yang sengaja menabrak sensitivitas publik. Apakah ini strategi menjaga relevansi di era attention economy? Jika ya, ini bukan praktik intelektual, tapi content farming berbungkus Jas Lab (alat pelindung diri). 

4. Absennya etika dalam komunikasi publik. Ketika ia mengatakan, "Saya hanya menyampaikan kebenaran, terserah masyarakat mau tersinggung atau tidak", maka muncullah bentuk arogansi yang berbahaya. Tanggung jawab akademisi bukan hanya menyampaikan data, tetapi juga memastikan informasi tidak disalahartikan atau memicu stigmatisasi. Jika ribuan warganet merasa dirugikan oleh ucapannya, apakah ia akan berlindung di balik jargon 'kebebasan akademik'?

5. Solusi instan untuk masalah kronis adalah formula yang gagal. Ryu Hasan gemar menawarkan 'solusi instan' (misal: "Stop mengeluh, kerja keras saja!") untuk masalah sistemik seperti pengangguran atau ketahanan pangan. Ini seperti memberi plester luka untuk pasien kanker. Jika pendekatannya sesederhana itu, mengapa dunia masih berjuang dengan krisis multidimensi? Jawabannya jelas: karena realita tidak bisa direduksi jadi soundbite.

6. Gelar bukan lisensi arogansi, dan viralitas bukan ukuran kebenaran. Publik butuh ilmuwan yang rendah hati, bukan influencer berjas putih yang menjual kontroversi demi engagement. Jika Ryu Hasan ingin dianggap serius, berhentilah menjadikan sains sebagai komoditas dan mulai dengarkan suara mereka yang dipinggirkan oleh narasi-narasi simplistiknya.

7. Kurangnya dasar ilmiah dan data yang valid. Pendapat-pendapat yang dilontarkan cenderung mengabaikan prinsip dasar ilmu pengetahuan. Alih-alih merujuk pada data empiris atau konsensus para ahli, argumen justru dibangun di atas asumsi pribadi, klaim tidak berdasar, atau interpretasi sepotong-sepotong dari studi yang tidak relevan. Jika klaim tersebut benar-benar revolusioner, mengapa tidak dipublikasikan di jurnal terakreditasi? Bukankah ini pertanda bahwa klaim tersebut hanya 'gagasan liar' tanpa uji kelayakan akademis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun