Mohon tunggu...
Farichal Muafy
Farichal Muafy Mohon Tunggu... Pengajar Filsafat Islam

Hobi membaca, tertarik pada kajian-kajian psikologi, sosiologi dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama Membedakan Manusia

28 Februari 2025   22:02 Diperbarui: 28 Februari 2025   22:02 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
people are different because of their religion

AGAMA MEMBEDAKAN MANUSIA

Secara sosial, agama menjadi identitas yang membedakan kelompok manusia berdasarkan kepercayaan. Teori pengelompokkan dalam ilmu sosiologi menjelaskan bagaimana individu secara alami cenderung membentuk kelompok berdasarkan kesamaan tertentu. Proses ini mencerminkan kebutuhan manusia untuk saling memberi dan menerima (give and take), membangun solidaritas, dan menciptakan rasa memiliki. Salah satu teori utama yang relevan adalah in-group (kelompok dalam) dan out-group (kelompok luar) yang dikemukakan oleh William G. Sumner (1840--1910). Menurutnya, di kalangan in-group akan dijumpai persahabatan dan kedamaian. Apabila in-group berhubungan dengan out-group, maka muncul-lah apa yang disebut permusuhan dan kegelisahan. Teori ini sebenar-nya telah disampaikan oleh Nabi Muhammad ratusan tahun sebelum William Sumner menyampaikan teori in-outnya. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Jiwa-jiwa itu bagaikan pasukan yang berkelompok. Apabila mereka saling mengenal, maka (otomatis) akan menjadi akrab, dan apabila mereka merasa asing, maka (otomatis) akan berselisih". Emile Durkheim (1858--1917), bapak sosiologi modern, membedakan antara solidaritas mekanik yang terjadi dalam masyarakat tradisional yang didasarkan pada kesamaan norma dan kepercayaan, dan solidaritas organik yang muncul dalam masyarakat modern dengan diferensiasi peran dan fungsi setiap individu terlepas dari norma dan kepercayaan-nya. Dengan demikian, solidaritas di era modern sudah seharusnya didasarkan pada peran dan fungsi masing-masing orang, yang jauh dari frasa "melihat perbedaan".

Agama sebagai identitas sosial bisa menjadi pedang bermata dua. Jika agama di-integrasikan dengan baik, maka ia dapat menciptakan kohesi sosial. Akan tetapi jika agama dijadikan dasar eksklusivitas, maka ia dapat menciptakan segregasi. Oleh karena itu, pengakuan terhadap agama sebagai identitas sosial perlu di-imbangi dengan sikap inklusif, dan penghormatan terhadap keberagaman. Para ahli sosiologi memiliki perspektif yang berlainan terkait perbedaan di antara manusia. Emile Durkheim, pengusung perspektif fungsional, melihat perbedaan sebagai bagian integral dari sistem sosial yang menciptakan keseimbangan. Perbedaan, menurutnya, justru dapat menjadi penguat solidaritas. Konsep ini mungkin terdengar kontra-intuitif, atau bertentangan dengan ekspektasi akal sehat, karena yang sering diasumsikan adalah bahwa persamaan-lah yang akan menyatukan manusia, bukan perbedaan-nya. Dengan kata lain, Durkheim menawarkan perspektif varian, di mana perbedaan itu merupakan varian yang sebenarnya dicari oleh indra manusia. Misalnya kios es krim yang menawarkan varian rasa, atau toko cat yang menyediakan varian warna akan lebih sering dikunjungi daripada yang cenderung monoton. Mengacu pada konsep ini, dapat dikatakan bahwa perbedaan agama justru akan memperkuat solidaritas sosial, jika berhasil dipahami sebagai varian yang dibutuhkan.

Apa yang terjadi jika seluruh manusia memeluk agama yang sama? Yang terjadi adalah stagnasi spiritualitas, dan invaliditas informasi kitab-kitab suci terkait perbedaan manusia dalam keimanan. Homogenitas agama dapat menimbulkan stagnasi intelektual dan spiritual, karena tidak ada lagi yang perlu dibahas terkait persoalan lintas keimanan. Kedua, kalau fenomena dunia dalam satu agama benar terjadi, maka seluruh informasi kitab-kitab suci tentang adanya manusia yang tidak beriman menjadi invalid, dan ini dapat menggugurkan predikat "suci" dari kitab-kitab tersebut. Perbedaan pendapat, termasuk dalam hal agama, adalah perkara yang penting untuk mengasah kreativitas dialektika manusia. Friedrich Hegel (1770--1831) filsuf idealis Jerman, mengatakan bahwa kontradiksi adalah akar dari semua gerakan dan vitalitas; hanya sejauh sesuatu memiliki kontradiksi di dalamnya, ia akan bergerak, memiliki dorongan, dan aktivitas. Menurut Hegel, sejarah manusia bukanlah serangkaian peristiwa acak, melainkan sebuah perjalanan rasional yang diarahkan oleh Roh Absolut melalui konflik-konflik yang mengarah pada sintesis, atau penyatuan ide yang lebih tinggi. Dalam setiap konflik, seperti pertemuan antara tesis dan antitesis, tercipta suatu sintesis yang lebih maju dan lengkap. Ini bisa dilihat dalam contoh sosiologis, di mana tatanan sosial (tesis) bertemu dengan tantangan sosial (antitesis), yang kemudian menghasilkan bentuk baru dalam masyarakat (sintesis). Proses ini juga terjadi dalam pemikiran filosofis, di mana kontradiksi antara dua konsep yang saling bertentangan dapat menghasilkan konsep baru yang lebih lengkap. Dengan demikian, kita tidak perlu mempersoalkan perbedaan agama di tengah masyarakat yang heterogen ini, karena kita membutuhkan perbedaan tersebut untuk menemukan sintesis Hegel, dan validitas kitab suci.

Perbedaan manusia beragama dan yang tidak beragama terletak pada corak spiritualitas, moralitas dan penerimaan terhadap konsep eskatologi agama. Dari segi spiritualitas, manusia beragama menemukan spiritualitas melalui hubungan dengan Tuhan yang menjadi inti keimanan mereka. Spiritualitas mereka diwujudkan melalui praktik ibadah yang dirancang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebaliknya, manusia yang tidak beragama mengembangkan spiritualitas mereka secara mandiri, tanpa ada keterikatan pada petunjuk agama. Mereka mungkin menemukan kedamaian batin dan makna hidup mereka melalui hubungan dengan alam, refleksi diri, atau interaksi dengan sesama manusia. Dari segi moralitas, manusia beragama mendasarkan konsep baik dan buruk kepada ajaran agama yang mereka anut. Moralitas mereka dibentuk dari ajaran kitab suci, atau ajaran para Nabi. Motivasi untuk berbuat baik dikaitkan dengan pahala di akhirat atau rasa takut terhadap hukuman Tuhan, atau mencari ridho-Nya pada level keimanan yang lebih tinggi. Di sisi lain, manusia tidak beragama mendasarkan moralitas mereka pada logika, empati, dan pengalaman manusiawi. Mereka cenderung melihat baik dan buruk dari dampak-nya terhadap diri sendiri atau masyarakat, tanpa terkait dengan konsep ketuhanan. Motivasi orang yang tidak beragama untuk berbuat baik, muncul dari kesadaran akan penting-nya tenggang rasa dan tanggung jawab sosial. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana spiritualitas dan moralitas manusia beragama didasarkan pada keimanan kepada Tuhan dan para Nabi, sementara manusia tidak beragama mengandalkan pendekatan rasional dan humanis. Lihat-lah, bagaimana perbuatan yang sama-sama baik menjadi berbeda karena niat-nya.

Penerimaan eskatologi terkait konsep akhir zaman dan kehidupan setelah kematian, menjadi pembeda yang ekstrem di antara manusia beragama dan yang tidak beragama. Bagi manusia beragama, eskatologi merupakan salah satu ajaran inti yang memberikan arah moralitas, sekaligus menjelaskan tujuan keberadaan manusia di muka bumi. Dalam banyak agama, konsep eskatologi mencakup pandangan tentang dimensi akhirat, surga, neraka, siklus reinkarnasi dalam ajaran Hindu dan Buddha, dan kehidupan abadi bersama Tuhan. Eskatologi bagi para pemeluk agama tidak hanya menjadi bagian dari keimanan kepada ajaran metafisik, tetapi juga menjadi dasar pembentukan nilai-nilai etis, di mana tindakan manusia di dunia diyakini memiliki konsekuensi abadi. Tiga agama Abrahamik --Islam, Nasrani, dan Yahudi-- mengajarkan tentang hari kebangkitan dan pengadilan Tuhan yang terakhir. Hindu dan Buddha mengajarkan siklus kelahiran kembali (samsara) yang dapat dihentikan melalui pembebasan spiritual seperti moksha atau nirvana. Eskatologi dalam kerangka ini memberikan optimisme atas penderitaan duniawi saat ini, dengan meyakini bahwa ada keadilan Tuhan yang akan terlaksana setelah kematian manusia. Sebaliknya, manusia yang tidak beragama, yang mengadopsi pandangan materialistis, naturalistis atau skeptis, cenderung menganggap kematian sebagai akhir segala-nya, sehingga kematian bagi mereka dapat menjadi hal yang paling ditakuti.

Adapun kehidupan setelah kematian, sudah barang tentu berada di luar jangkauan akal manusia, tetapi konsep akhir zaman dapat dijelaskan secara saintifik. Astrofisikawan Amerika keturunan Jepang, Dr. Michio Kaku, melakukan pendekatan terkait konsep akhir zaman dengan teori kosmologi seperti Big Freeze, yang menyatakan bahwa alam semesta akan terus mengembang hingga mencapai kondisi di mana semua bintang kehabisan bahan bakar, alam semesta menjadi kabut beku, dan semua gerakan akan terhenti. Eskatologi Islam mencakup keyakinan tentang hari kiamat yang ditandai dengan kebangkitan imam Mahdi dan turun-nya Isa Al-Masih ke bumi. Eskatologi Nasrani juga mengajarkan tentang kedatangan Isa Al-Masih yang kedua kali (second coming). Eskatologi Yahudi, mengajarkan tentang kedatangan sang Mesias yang akan membawa kedamaian dan dunia baru (olam ha-ba). Sementara itu, dalam agama Hindu dan Buddha, eskatologi terkait siklus reinkarnasi, dan pencapaian akhir spiritual, seperti moksha dalam Hindu atau nirvana dalam Buddha. Eskatologi Buddha lebih menekankan transformasi spiritual individu daripada kejadian kosmik (kehancuran alam semesta). Di sisi lain, Zoroaster mengajarkan tentang frashokereti di mana dunia akan diperbarui dan dipenuhi kebaikan. Bagian dari konsep eskatologi dalam agama Konghucu tetap ada, meski tidak dalam bentuk-nya yang utuh, tetapi sebagai bagian dari etika harmoni kosmis, dan ritual penghormatan terhadap para leluhur, yang mencerminkan hubungan simbolis antara orang-orang yang telah mati dengan mereka yang masih hidup.

Posisi agama yang sangat penting dalam membangun peradaban manusia dan meningkatkan kualitas moral, mendapat banyak koreksi dan catatan, antara lain: pertama, agama dianggap menambahi faktor pembeda anak bangsa --selain faktor suku, kelas ekonomi dan pilihan politik-- dengan membuat batas indentitas religius. Kedua, pengikut ajaran agama tertentu dengan klaim kebenaran merendahkan keyakinan orang lain, sehingga menimbulkan permusuhan. Ketiga, apabila agama membatasi eksplorasi spiritual dengan ajaran-ajaran yang kaku, maka pengalaman spiritual personal yang bersifat universal akan terdistorsi. Keempat, agama yang gagal menjelaskan konsep kefana'an dunia membuat para pengikut-nya cenderung mengabaikan urusan-urusan dunia seperti kemajuan di bidang ekonomi, sains, dan teknologi, yang padahal sangat dibutuhkan. Mereka enggan giat bekerja --karena takut dianggap mengejar dunia-- tetapi kelabakan ketika butuh dan tidak punya uang. Enggan mempelajari ilmu-ilmu dunia, tetapi marah ketika direndahkan karena bodoh. Mengagungkan obat herbal, dan merendahkan obat kimiawi, tetapi kalau sakit pergi-nya ke dokter, bukan ke herbalis. Enggan berpolitik, tetapi bingung ketika hak-nya dirampas oleh para penguasa. Tidak mau terlibat dalam penguatan kedaulatan negara, tetapi nangis ketika dijajah oleh negara lain. Ogah menjalin kerja sama dengan yang berbeda agama, tetapi gemar menggunakan aplikasi buatan-nya. Terakhir, dalam hal motivasi moral, agama konvensional dikritik karena mengajarkan moralitas berbasis imbalan (pahala). (*) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun