Mohon tunggu...
Farid Dimyati
Farid Dimyati Mohon Tunggu... -

Penulis pernah mengeyam pendidikan pada Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Reggae, Marley, dan Perlawanan!

21 Desember 2014   14:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:49 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

” Bangkit. Pertahankan hak-hakmu” (The Wailers)

Bagi penikmat seni khususnya musik, tentunya sudah tak asing lagi jika mendengar genre musik yang satu ini “reggae”, genre musik yang identik dengan legendaris musik dunia, siapa lagi kalau bukan Bob Marley, dengan salah satu lagunya yang sangat fenomenal “no woman no cry”.

Sumber tertulis mengatakan bahwa reggae berasal dari kata-kata Toots and The Maytals yang menyanyikan lagu ini (Do The Reggae) pada tahun 1967. Irama musik reggae lebih pelan dibandingkan dengan rock steady dan irama tambur musik reggae pun dipelankan menjadi apa yang disebut skank1). Patrick Hilton dalam Campbell2), menyatakan bahwa puisi-puisi kebudayaan bersumber dari sejarah dan pengalaman orang – orang yang mengembangkannya, demikian juga dengan musik calypso dan reggae, yang merupakan produk – produk pengalaman historis bangsa Afrika yang ada di Karibia. Sementara itu, medium ekspresi protes dan sentimen orang-orang Afrika di Amerika juga telah menemukan beberapa bentuknya, seperti isi dan semangat musik jazz dan blues yang kami temukan pada kaum negro Amerika (Afro – Amerika). Sama halnya dengan reggae masa kini di Jamaika yang merefleksikan pesan yang sama, yaitu sebuah reaksi terhadap eksploitasi dan penindasan atas orang – orang Afrika di benua baru.

Musik reggae tumbuh karena semangat anti perbudakan yang memang sudah memuncak dikalangan warga kulit hitam Jamaika, mereka sudah mengalami masa-masa perbudakan selama berabad-abad lamanya. Kebuntuan itulah yang menyebabkan mereka pada akhirnya mulai menyatukan pemikiran dan sikap dalam melawan rezim perbudakan dalam berbagai bentuk, salah satunya melalui jalur kesenian yaitu musik reggae.

Perkembangan Musik Reggae

Tahun 1968 adalah tahun dimana musik reggae mulai berkembang pesat di tanah Jamaika, pada periode perkembangan reggae inilah massa mulai mempertegas kembali pengaruh kuat nilai – nilai budaya di dalam perkembangan kepercayaan diri masyarakat. Reggae telah membuka peluang -peluang baik pada level kebudayaan, politik, maupun teknologi. Reggae juga merupakan sumber keberanian dan dukungan moral yang tak habis – habisnya, sedemikian rupa sehingga seniman -seniman reggae dapat memasuki arena internasional dan memaksakan kepada dunia sebuah ekspresi orang-orang tertindas yang telah dianggap rendah (inferior) secara kultural maupun secara artistik3).

Perkembangan musik reggae yang demikian pesat, tidak terlepas dari tangan emas Bob Marley dan grup musiknya The Wailers. Marley selalu menyerukan kepada banyak orang agar“memerdekakan diri sendiri dari perbudakan mental, tak seorangpun kecuali diri kita yang dapat memerdekakan pikiran kita” (emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our minds). Lagu-lagu marley-lah yang kian membakar semangat para kaum dreadlock4) muda untuk semakin gigih dalam melawan segala bentuk penindasan di Jamaika bahkan di seluruh muka bumi. Musiknya semakin dikenal luas ke seluruh dunia, bahkan hampir di seluruh benua Afrika musik reggae ala marley adalah lagu wajib perjuangan untuk melawan bentuk perbudakan di benua hitam tersebut.

Get up, stand up, stand up for your right, get up, stand up don’t give up to fight !

Bangun, berdiri, pertahankan hak-hakmu, berdirilah jangan berhenti untuk melawan ( lagu “Get up Stand up”). Lirik tersebut adalah bentuk provokasi Marley dalam membakar semangat kaum muda kulit hitam untuk tetap berjuang mempertahankan hak-hak nya sebagai manusia, Marley merupakan sosok legendaris musik reggae yang tak kenal lelah untuk selalu menyerukan kepada dunia bahwa perbudakan terhadap kulit hitam adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang tak beradab. Marley dan salah satu sahabatnya, Peter Tosh selalu menyerukan ” you can fool some people sometimes, but can’t fool all the people all the time “ (kau dapat membodohi beberapa orang sesekali, tetapi tidak bisa membodohi semua orang setiap saat). Bahkan dalam lagu ” I Shot The Sheriff “, telah mampu menarik banyak penggemar simpatik dari seluruh dunia, karena simbolisme menentang penguasa tiran tidak hanya digemari oleh orang -orang kulit hitam saja, tetapi juga oleh seniman-seniman budaya kulit putih seperti Mick Jagger  dan John Lennon.

Bangsa-bangsa kulit hitam semakin gigih dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaannya, terlebih dengan propaganda Marley melalui musik reggae nya telah membuka mata dunia bahwa perbudakan adalah sebuah bentuk kekejaman kemanusiaan. Hingga pada akhirnya kemerdekaan atas segala bangsa benar – benar terwujud diatas muka bumi ini tanpa adanya perbedaan warna kulit. Berikut adalah salah satu penggalan pidato yang disampaikan oleh Kaisar Haile Selassie (raja bangsa kulit hitam) di Amerika Serikat pada tahun 1964 sebagai bentuk perjuangan untuk kemerdekaan bangsa-bangsa kulit hitam Afrika. Beberapa kalimat dalam pidato ini dijadikan lirik oleh Bob Marley dalam lagu ” war “

until the philosophy which hold one race superior and another inferior

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun