Mohon tunggu...
farid muttaqin
farid muttaqin Mohon Tunggu... -

Lahir di Buaran, desa lumbung padi di ujung selatan Brebes, saat ini sedang mondok di SUNY-Binghamton, NY.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Konsep dan Gagasan

9 September 2012   21:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:42 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara-bangsa Indonesia dibangun atau 'disiapkan' melalui proses konseptual yang sangat intens di antara para pendirinya. Gagasan sosialisme agama, sosialisme merah, nasionalisme agama, nasionalisme sekuler, nasionalisme kesukuan, nasionalisme komunisme, sampai melahirkan UUD 1945 dan Pancasila sebagai konstitusi dan dasar negara yang kuat visi pluralismenya adalah hasil dari proses konseptual panjang dan intens yang mewarnai sejarah awal berdirinya negara-bangsa ini.

Indonesia merdeka tak hanya lahir melalui konfrontasi senjata, tapi melalui proses konseptual dan gagasan. Perdebatan sengit tentang Pancasila yang melibatkan banyak sekali unsur politik, dipenuhi berbagai pro-kontra, termasuk ancaman disintegrasi karena munculnya gagasan ekslusif tentang penerapan Syariat Islam menjadi salah satu gambaran fenomenal betapa para pendiri itu punya energi dan kemampuan luar biasa untuk mengarungi proses konseptual dan gagasan, agar kelak Indonesia tak hanya merdeka dari kolonialisme, tapi dari penjajahan oleh negeri sendiri.

Imbas dari proses konseptual di level politik dan kenergaraan, dinamika politik dan bernegara kita juga lebih 'sehat' atau lebih 'waras' secara politik. Pemilu pertama, 1955, di bawah negara-bangsa Indonesia menjadi satu-satunya pemilu demokratis dalam sejarah politik Tanah Air. Aliran politik apapun dibebaskan untuk menjadi kontestan; kampanye berisi program dan sosialisasi idelogi; dan para pemilih, secara umum, menentukan pilihan secara bebas dan 'sadar'. Partai 'ateis' seperti Partai Komunis Indonesia bisa berdampingan dengan partai agama seperti Masyumi atau Partai NU.

Kini, Indonesia, baik negara maupun masyarakatnya, sedang mengalami kemunduruan serius dari aspek konseptual, gagasan, dan ide. Kita sempat punya harapan untuk kembali memiliki 'tradisi' terlibat dalam proses konseptual dan gagasan setelah mengalami perubahan kempimpinan nasional. Ruang politik kita juga lebih terbuka, meski masih kalah jauh dengan era Indonesia 'muda' -misalnya, partai berasas komunisme masih dilarang.

Sayangnya, semakin hari, nafsu politik dan ambisi kekuasaan lebih besar daripada kesadaran politik kita. Lalu, tindakan 'judgmental' dan 'prejudice' lebih disukai daripada tindakan argumentatif dan konseptual. Saat Presiden Gus Dur mulai membangun kehidupan bernegara yang lebih 'konseptual' dengan mencabut pelarangan komunisme, kita lebih senang meresponnya dengan segala prejudice, daripada mencernanya, lalu membangun argumen dan konsep tentang imajinasi masyarakat (imagined community) Indonesia dengan atau tanpa komunisme. Selain itu, dibukanya ruang lebar bagi siapapun untuk mendirikan partai politik dan ikut serta dalam pemilu tak pernah ditanggapi dengan 'debat konseptual' panjang, intensif dan serius. Salah satu akibatnya, kesempatan menjadikan Indonesia negara demokrasi, tak hanya dalam aspek kemerdekaan klasik (classical freedom) seperti kebebasan berbicara dan berserikat, tapi kemerdekaan lebih hakiki: bebas dari rasa takut, kekerasan, dan kemiskinan, saat ini justru berantakan.

Terus terang, saya belum pernah mendengar sebuah partai disiapkan melalui proses konseptual yang intens. Partai politik kita bukan hanya jarang terlibat dalam aktivitas konseptual terkait aspek internal partai, misalnya bagaimana partai punya daya tahan kuat dari godaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, atau ideologi apa yang diusung partai, dan seterusnya.

Lebih susah lagi menemukan partai politik yang bersedia bercapai ria terlibat dalam proses gagasan dan ide tentang Indonesia, misalnya bagaimana menjadikan Indonesia bebas korupsi, lebih sejahtera secara sosial dan ekonomi, politik luar negeri yang membuat Indonesia terhormat di dunia internasional, bebas dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM, dan seterusnya. Kita lebih suka 'ujuk-ujuk' membuat partai dengan (satu-satunya) 'program:' mengusung calon presiden, dan kita menyadari ternyata situasi ini tak hanya terjadi pada partai politik yang dibuat para politisi, tapi juga partai politik yang dibentuk para akademisi.

Situasi dalam konteks politik juga menjalar di luar konteks politik. Misalnya, untuk mengatasi rendahnya budaya menulis kalangan akademik di jurnal ilmiah, otoritas pendidikan kita lebih suka membuat kebijakan jalan pintas daripada menyediakan ruang luas agar budaya menulis lahir dari budaya dan sikap ilmiah yang lebih kuat: membaca, bertukar konsep dan gagasan, respek pada keragaman pemikiran, eksploratif, kritis dan analitis, dan seterusnya. Menulis di sebuah publikasi hanya secuil dari gambaran budaya atau sikap ilmiah yang lahir dari proses konseptual yang panjang dan intens.

Masyarakat juga terimbas dari situasi krisis konsep di tingkat negara itu. Contoh sederhana tapi nyata: kita lebih suka mencemooh, menggunakan otot bahkan mengangkat parang untuk merespon segala hal, termasuk pemikiran, yang tak kita setujui. Kita bahkan (diam-diam) senang menyaksikan kejadian seperti itu. Kita tak lagi siap hidup dalam keragaman, fondasi utama bernegara di negeri kebhinnekaan ini.

Saatnya kita menyadari krisis gagasan dan konseptual ini, lalu berfikir untuk membangunnya kembali agar gagasan Indonesia merdeka seutuhnya bisa kita capai. Kita perlu menyadari akibat dari krisis ini; bukan saja kita menjadi miskin gagasan dan ide, tapi berbagai persoalan yang menjadikan kita mengalami penjajahan internal, seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan politik dan sosial, dan kemiskinan sistemik terus menerus terjadi.

Kita bisa mulai membangun lagi 'tradisi konseptual' ini dari lingkungan pendidikan sebagai institusi yang memang 'nature-nya' terlibat dalam proses konseptual, juga lembaga-lembaga penelitian dan LSM yang fokus pada berbagai isu sosal-kemanusiaan. Kita sangat berharap, lembaga-lembaga ini bisa lebih aktif menawarkan gagasan dan ide tentang berbagai isu yang sedang kita dihadapi. Akhirnya, kita perlu membuat ruang di mana para politisi yang lebih asyik dengan perilaku pragmatisme politik dan ambisis kekuasaan menjadi kelompok minoritas dengan menjadi komunitas yang lebih aktif and intens terlibat dalam gerakan gagasan dan konsep untuk, jika tidak untuk diterapkan saat ini, menyiapkan Indonesia masa depan yang bebas dari penjajahan internal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun