Mohon tunggu...
Anis Farida
Anis Farida Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, aktivis

Menebar kebaikan untuk kebahagiaan semua makhluk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jalan Panjang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

24 Oktober 2020   20:50 Diperbarui: 24 Oktober 2020   20:58 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penundaan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dari Prolegnas Prioritas 2020 melahirkan keprihatinan yang mendalam dari aktivis perempuan, korban dan sejumlah kalangan masyarakat. Betapa tidak, RUU P-KS sudah mengalami perjalanan panjang pembahasan di DPR yaitu sejak periode 2014-2019, dan berlanjut hingga saat ini. Namun belum kunjung disahkan, bahkan terlempar keluar dari pembahasan Prolegnas Prioritas 2020, sementara di sekitar kita jumlah kasus kekerasan seksual terus mengalami peningkatan.

Fenomena kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, jumlah kasus yang terlaporkan ataupun yang ditangani hanyalah gambaran secuil kecil realitas.

Begitu banyak wajah tindak kekerasan seksual yang masih tersembunyi, dan tersimpan rapat dalam memori para korban. Mereka sebagian besar memilih bungkam, tanpa suara, karena situasi yang serba salah. Membuka mulut berarti siap membuka "aib" bahkan harus siap menghadapi pandangan miring masyarakat sekitar. Menerima tuduhan seakan korbanlah yang menjadi sumber atau penyebab terjadinya kekerasan seksual.

Nasib korban tindak pidana kekerasan seksual ibarat peribahasa "sudah jatuh tertimpa tangga" pula. Tidak berlebihan kiranya untuk menyandarkan harapan pada adanya produk peraturan perundangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Sebuah instrumen hukum yang mampu mewadahi kasus-kasus kekerasan seksual dan memberikan jaminan rasa keadilan bagi korban.

Berdasarkan catatan tahunan dari Komnas Perempuan yang dirilis Maret 2020, angka kekerasan terhadap perempuan di tahun 2019 sebesar 431.471, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 406.178. Khususnya kekerasan Seksual sebanyak  4.898 (2.807 ranah domestik & 2.091 ranah komunitas). Selama pandemi Covid-19 ini, ada laporan kekerasan seksual sebanyak 461 kasus (258 ranah domestik & 203 ranah komunitas). Dengan demikian selama kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat.  (Catahu Komnas Perempuan, 2020).

Ragam tindak kekerasan seksual, juga terjadi di kampus, yang notabene merupakan institusi pendidikan, idealnya dunia pendidikan tinggi menjadi rujukan standar bagi masyarakat umum. Insan dunia pendidikan tinggi diharapkan memproduksi pengetahuan tidak saja untuk mencerdaskan bangsa, namun juga melahirkan generasi berkualitas yang bermartabat.  Namun ternyata sebagaimana dirilis oleh  Tirto, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post (2019) mengungkapkan data yang berkaitan dengan kekerasan seksual yang terjadi di kampus (https://tirto.id/dmTW). 

erdasarkan data yang dipaparkan, terjadi 174  kasus kekerasan seksual pada 79 kampus di 29 provinsi. Ironisnya pelaku tindak kekerasan seksual ini beragam, mulai dosen, mahasiswa, tenaga administrasi, dan tenaga kerja lainnya yang ada di lingkungan kampus, dan sebagian besar (96%) adalah perempuan/mahasiswi dan sebagian besar tidak berani melapor.

Respon cepat dunia kampus khususnya akademisi terhadap nasib RUU P-KS yang dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020, ditunjukkan dengan menggalang dukungan secara cepat. Hanya dalam beberapa hari telah terkumpul hampir 1467 akademisi dari 373 universitas termasuk 98 guru besar mendukung disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (data Aliansi Akademisi Indonesia, 2020). 

Gerak Aliansi Akademisi tidak berhenti pada dukungan yang dinyatakan dalam deklarasi pada tanggal 14 Juli 2020. Namun terus berlanjut dengan berbagai kegiatan webinar, workshop, maupun diskusi daring yang membahas tentang rencana tindak lanjut, penguatan substansi RUU-P-KS serta pertemuan dengan para anggota legislatif .

Kegiatan ini dilakukan secara berseri di berbagai kampus yang ada di Indonesia, berjejaring dengan berbagai elemen masyarakat, mulai Forum Pengada Layanan (FPL), Komnas Perempuan, berbagai Assosiasi keilmuan, misal Asosiasi Pengajar Hukum dan Gender, Asosiasi Program Studi Sosiologi, dan tentunya Asosiasi Pusat Studi Wanita Gender dan Anak se Indonesia.

Bersatu padu berbagai elemen masyarakat bergandengan tangan melantunkan narasi untuk mendukung pengesahan RUU P-KS. Serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh para akademisi maupun aktivis yang peduli terhadap nasib perempuan korban kekerasan seksual dan terwujudnya instrumen hukum yang mampu memberikan perlindungan dan terwujudnya penghapusan kekerasan seksual, dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun