Mohon tunggu...
Anis Farida
Anis Farida Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, aktivis

Menebar kebaikan untuk kebahagiaan semua makhluk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyuarakan Suara Rakyat

19 Oktober 2020   23:23 Diperbarui: 19 Oktober 2020   23:44 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengesahan RUU Cipta Kerja pada hari Senin 5 Oktober 2020 masih terus menuai aksi penolakan yang berlangsung di berbagai tempat dan dilakukan oleh beragam elemen masyarakat. Buruh, mahasiswa bahkan pelajar turun ke jalan untuk melakukan serangkaian aksi.

Jumlah aksi massa di sejumlah daerah angkanya bisa mencapai ribuan orang, terutama aksi di kota-kota besar yang memiliki banyak kampus dan sekolah.[1] Keterlibatan mahasiswa dan pelajar dalam serangkaian aksi demonstrasi di tengah situasi pandemic covid19, menjadi hal yang paradoks.

Di satu sisi merupakan hal yang positif, karena menunjukkan kepedulian terhadap nasib rakyat, terlepas dari polemik isi UU Cipta Kerja yang disuarakan. Namun di sisi lain, mahasiswa dan pelajar sejak penetapan status pandemi berkewajiban melakukan pembelajaran secara daring. 

Dengan latar situasi demikian, idealnya mereka berada di rumah masing-masing, dan tidak melakukan perjumpaan fisik secara langsung. Bahkan sebagian besar mahasiswa saat ini  pulang kampung ke daerah asal.  

Namun kenyataannya, ancaman persebaran virus covid19 maupun keharusan memenuhi protokol kesehatan tidak menyurutkan langkah berbagai elemen masyarakat. Suka atau tidak, patut dipertanyakan mengapa sedemikian hebatnya magnet yang menarik mereka hingga turun ke jalan.

Menarik untuk dicermati, poin-poin penting yang diusung oleh komponen masyarakat penolak. UU Cipta Kerja ini pada awalnya merupakan satu paket dari empat omnibus law yang diusulkan pemerintah pada DPR, yaitu tentang perpajakan, ibu kota baru, dan kefarmasian.

Tulisan ini tidak hendak membahas mengenai substansi penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang diusung oleh mereka yang turun ke jalan, akan tetapi lebih pada bentuk aksi kolektif yang dilakukan masyarakat.

Apakah aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial. Karena tidak semua aksi protes yang mengerahkan sejumlah besar massa dapat disebut sebagai gerakan sosial.

Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar aksi kolektif dapat disebut sebagai sebuah gerakan sosial. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, mari sedikit menelusuri jejak gerakan sosial yang pernah terjadi.

Sejak era tahun 1960-an hingga sekarang, berbagai macam collective behavior seperti gerakan sosial dan aksi protes mengalami fluktuasi yang cukup besar[2].

Fluktuasi intensitas mobilisasi gerakan selama periode tersebut berupa peningkatan derajat radikalisme dan kapasitas mempengaruhi proses politik. Pada saat itu muncul perkiraan, bahwa gencarnya gerakan sosial yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat hanya bersifat sesaat dan akan segera berkurang bahkan berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun