Mohon tunggu...
Farida Ayu Hapsari
Farida Ayu Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Aida

a melancholy, not a melodrama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kisah dari Masa yang Telah Berlalu (Menyelami Penyesalan)

5 Januari 2021   09:40 Diperbarui: 5 Januari 2021   09:53 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar sewindu yang lalu telah kuselipkan berjuta kenangan di antara lorong-lorong sekolah yang kini kembali terjamah oleh kedua kakiku. 

Udaranya masih sama, mungkin karena atmosfer bangunan ini masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah kecuali dinding-dinding dengan wajah baru, dan beberapa ornamen tanaman yang lebih asri menghiasi sepanjang lorong yang penuh cerita lalu. 

Langkah demi langkah kuayunkan dengan penuh debar. Mengingat dan membuka kembali selembar demi selembar goresan kenangan yang pernah dengan indahnya tergambar. Lalu sejenak aku berhenti pada sebuah bangku tua yang kini terlihat sangat estetik. 

Aku memutuskan untuk duduk di bangku itu sambil memandang ke arah tanah lapang yang dulunya adalah lapangan basket. Samar-samar ingatanku memutar kembali tentang apa yang pernah terjadi pada sisi ini. 

Delapan tahun yang lalu tepatnya, aku duduk di bangku ini sambil menulis beberapa kalimat yang dikatakan oleh hatiku. Namun tak satupun dari sekian banyak baris kalimat yang dapat dikatakan oleh bibirku. Aku masih ingat, betapa dulu aku mengagumimu. Mungkin, tak sekedar itu.

Kata sebagian teman, aku pandai dalam hal yang disebut mengabaikan. Ya, aku bisa menerima dan mengerti itu karena aku memang telah melakukannya. Tiga tahun aku hanya memandangmu dari jauh, menyusun dengan rapi setiap kata yang menjadi kalimat indah dengan goresan pena yang memenuhi lembaran dalam bukuku, tapi semua keindahan itu tak pernah kukatakan padamu. Itu sudah cukup membuktikan bahwa aku pandai mengabaikan waktu. Menyesal, pasti. 

Dulu, aku merasakan banyak keraguan. Mungkin lebih tepatnya aku takut dan tidak percaya diri untuk memberitahukannya kepadamu. Sekarang, aku bisa apa? Memang salahku kalau kau tak pernah mengerti bagaimana perasaanku. Hingga saat ini, detik saat aku kembali menginjakkan kaki ke tempat ini lagi, satu-satunya yang langsung terpikir olehku adalah betapa banyaknya waktu yang terbuang sia-sia oleh kebodohanku.

Aku kembali berdiri dan beranjak dari bangku lalu melanjutkan perjalananku melewati lorong yang penuh kenangan itu, kurasa mereka masih dan akan selalu hidup di dalamnya hingga kapan pun. 

Ya, mungkin selama bangunan ini belum dihancurkan dan ditata ulang. Tapi entahlah, bukankah memang benar yang dikatakan orang-orang bahwa jiwa manusia tidak pernah berubah? Manusia hanya menua secara fisik, tetapi jiwa dan hatinya yang pernah terisi berbagai bentuk memori tak akan pernah terganti ataupun mati.

Di ujung lorong yang berseberangan dengan ruang kelasku dulu masih terpajang mading dengan papan panjang yang dihiasi dengan aneka karya seni. Lagi-lagi aku kembali menyelami masa yang sewindu sudah berlalu. Ada puisi, cerita lucu, foto-foto penuh inspirasi, pengumuman penting dari sekolah, bahkan surat cinta terbuka yang ditujukan untuk seseorang. 

Aku dengan reflek tersenyum melihat betapa naifnya masa remaja. Kebanyakan akan berkata suka jika memang suka, dan berkata benci jika memang tidak menyukainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun