Mohon tunggu...
Money

Tujuan, Perubahan dan Pembahasan Perppu No 1 Tahun 2017

20 Desember 2017   23:43 Diperbarui: 20 Desember 2017   23:52 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Hasil Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Kementerian Keuangan

Untuk memberikan landasan hukum bagi Direktorat Jenderal Pajak demi meraih akses informasi keuangan dari perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lain terkait pemeriksaan wajib pajak, diterbitkanlah peraturan pemerintah pengganti pengganti undang-undang ini. Penerbitan perppu ini menjadi konsekuensi atas komitmen keikutsertaan dalam implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis, Automatic Exchange Of Information (AEOI), yang menyerukan pembentukan peraturan setingkat undang-undang sebelum tanggal 30 Juni 2017. 

Bila mana tidak adanya legislasi sebelum batas waktu, Indonesia akan dinyatakan sebagai fail to meet its commitment,yang membuka kemungkinan hilangnya kredibilitas sebagai anggota G-20 dan kepercayaan investor. Pasal yang menjamin kerahasiaan data keuangan, seperti Pasal 35 dan 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Nomor 6 Tahun 1983, telah dinyatakan tidak berlaku. Pemerintah mengharapkan penetapan perppu ini sebagai undang-undang demi maksimalisasi penerimaan pajak.

Sejak Amerika Serikat memberlakukan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) pada 2010, sejumlah negara anggota G-20 telah menunjukan ketertarikannya untuk penerapan sistem pertukaran informasi keuangan yang terintegrasi. Melalui FATCA, seluruh institusi keuangan non-AS dipaksa menyerahkan identitas dan aset dari yang tercatat sebagai warga negaranya. G-20 akhirnya mengajukan permintaan formal diajukan kepada OECD yang telah memiliki Standard Magnetic Format (SMF) untuk pertukaran informasi keuangan. 

Tujuannya adalah tak lain untuk menemukan penghindaran pajak yang membuka kesempatan untuk pemulihan penerimaan pajak bagi para negara bersangkutan. Rampungnya Common Reporting Standard (CRS) pada 2014, seluruh negara yang berkomitmen diharuskan untuk memiliki legislasi primer, atau setidaknya sekunder atas keterbukaan informasi keuangan hingga 30 Juni 2017. Hingga saat ini, 94 jurisdiksi telah memenuhi komitmen untuk pemberlakuan CRS.

Sasaran pemerintah dalam kerjasama internasional ini adalah wajib pajak yang menyimpan assetnya di negara-negara surga pajak (tax heaven). Dengan modus penyimpanan offshore, sejumlah wajib pajak terhindar tidak terlacak karena otoritas keuangan negara-negara tersebut menolak untuk memberikan informasi nasabah atas asas kerahasiaan. Sejumlah wajib pajak yang termasuk dalam kategori superkaya menjadikan Singapura, Pulau Virgin, Hong Kong, Pulau Cayman, dan Australia sebagai target tempat penghindaran pajak. 

Sebelumnya pada 2010, Indonesia telah menandatangani kerjasama dengan Hong Kong yang akan membuka pertukaran informasi keuangan secara bilateral. Bergabung dengan AEOI merupakan sebuah keuntungan besar yang memudahkan pertukaran informasi keuangan secara massal di antara negara yang berkomitmen. Terlebih bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, dengan bargaining power yang dimiliki Indonesia akan lebih sulit untuk menekan negara-negara surga pajak secara keseluruhan.

Keseluruhan rangkaian kebijakan ini merupakan upaya pemerintah dalam memenuhi realisasi penerimaan pajak yang masih belum mencapai target. Di tahun 2016, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.283,6 triliun dari target sebesar Rp 1.539,2 triliun, atau hanya 83,4%. Angka ini sudah dibantu dengan program tax amnesty yang menyumbang Rp. 107 triliun dan memberikan pertumbuhan 4,2%. 

Sebelum terbitnya Perppu No. 1 Tahun 2017, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya bisa mengawasi wajib pajak yang sudah melapor jumlah asetnya saja. Bahkan data aset yang didapat hanya bisa didapat melalui laporan wajib pajak sendiri. Sekarang DJP dapat memiliki informasi keuangan dari perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan di dalam dan bahkan luar negeri. Mengingat bahwa 21% dari Rp. 4.884 triliun yang dilaporkan pada tax amnesty merupakan aset yang berada di luar negeri.

Meskipun perppu ini telah dirancang untuk mengganti sejumlah undang-undang dan peraturan menteri keuangan (PMK), sejumlah poin masih belum dapat dijelaskan dengan rinci. 

Salah satunya tentang seberapa detail informasi keuangan yang dapat diakses oleh DJP, mengingat terdapat kerancuan antara terminologi saldo dan penghasilan terkait dalam pasal 2 ayat 3. Bila dikaitkan dengan pasal 4 dan 6 juga, terlihat bahwa DJP tidak memiliki batas untuk mengakses informasi dan bahkan tidak dapat dituntut secara pidana. Tentu membuka kesempatan untuk penyalahgunaan wewenang yang sangat tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun