Jarum jam menunjukkan pukul 1. Anak SD itu baru saja selesai makan siang. Setelah membereskan piring, sang Ibu mengajak anaknya itu tidur siang.
"Mau cerita apa hari ini? Nabi Yunus atau Si Buta dari Goa Hantu," sang Ibu menawarkan pilihan dongeng pengantar tidur. Jelas si Anak memilih kisah Nabi Yunus. Lagipula mereka tidak punya buku cerita si Buta dari Goa Hantu.
Sang Ibu menceritakan kisah Nabi Yunus yang dimakan paus. Si Anak mendengarkan dengan antusias. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Sang Ibu benar-benar menjelma menjadi gambar di kepalanya.
Si Anak pun akhirnya terlelap. Saat terbangun jam 3 sore, si Anak mengingat mimpi yang dialaminya. Dia baru saja bermimpi menaiki kapal laut dan melihat Nabi Yunus dilemparkan ke laut.
Cerita di atas adalah kisah nyata saya dan ibu saya.
Dua puluh tahun kemudian, momen itu menjadi core memory yang melekat di ingatan saya. Cerita sebelum tidur siang selalu menjadi momen menyenangkan. Kini, saya menyadari betapa mewahnya momen-momen seperti itu.
Tidak semua anak merasakan bimbingan dan didikan dari orang tuanya. Jangankan membacakan dongeng pengantar tidur, banyak anak yang bahkan tidak memperoleh bantuan mengerjakan PR dari orang tuanya.
Rumah adalah Sekolah Pertama
Banyak orang tua yang merasa pendidikan adalah tanggung jawab sekolah formal. Mereka hanya perlu memastikan anaknya makan dengan baik dan bersekolah dengan rajin. Padahal, interaksi orang tua dan anak merupakan proses pembelajaran yang krusial.
Quality time bersama anak adalah pelajaran yang tidak didapatkan di sekolah. Membacakan buku cerita, membuat kerajinan, atau kegiatan luar rumah seperti memancing bersama anak adalah pelajaran yang tidak kalah berharga daripada matematika di ruang kelas.