Saat saya berkuliah dulu, pemilihan pejabat organisasi mahasiswa (ormawa) dilakukan dengan sederhana. Kandidat melakukan kampanye dengan berorasi di depan massa dan menyampaikan visi misi melalui media sosial. Tidak perlu dana besar untuk alat peraga. Kandidat hanya perlu menyampaikan isi pikirannya kepada mahasiswa yang menjadi konstituennya.
Meskipun demokrasi tidak menjamin terpilihnya kandidat yang berkualitas, setidaknya kampanye murah dapat memastikan kandidat yang terpilih tidak memiliki utang balas budi kepada siapapun. Berdasarkan hasil penelitian KPK, biaya politik menjadi salah satu penyebab utama korupsi di Indonesia.
Waktu itu saya berpikir bagaimana jika pemilu di Indonesia dilakukan dengan cara yang sama dengan pemilu di kampus. Semua alat peraga dilarang. Tidak boleh ada pemasangan spanduk, iklan berbayar, dan bagi-bagi kaos. Semua kandidat hanya boleh berkampanye di media sosial. Biaya kampanye wajib Rp0. Demokrasi menjadi murah dan digital.
Tentu ini akan menjadi game-changer. Semua kandidat akan berfokus pada visi misi dan aksi nyata daripada sekadar gimik iklan dan pencitraan.
Selain itu, tidak adanya sponsor akan membuat orientasi pejabat publik menjadi sepenuhnya demi kepentingan rakyat. Pejabat tidak lagi dipusingkan dengan bagi-bagi jabatan yang seringkali melanggar prinsip meritokrasi.
Bagaimana Dedi Mulyadi Mewujudkan Demokrasi Digital
Sepak terjang Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam kiprah politiknya di Pilkada Serentak 2024 mengingatkan saya pada lamunan masa lalu tersebut. Ketika saya berpikir betapa akan luar biasanya jika ada kandidat politik yang dapat memanfaatkan kekuatan media sosial.
Kampanye Gubernur Dedi Mulyadi membuktikan hipotesis saya tentang kekuatan media sosial dalam politik. Dalam sebuah pernyataan beliau mengatakan bahwa beliau "tidak berkampanye" dalam kontestasi Pilkada Jawa Barat.
Jika kita menggunakan definisi kampanye konvensional seperti memasang jutaan spanduk yang mengotori jalan atau bagi-bagi sembako yang menumpulkan nalar, Dedi Mulyadi mungkin memang tidak berkampanye. Namun beliau berkampanye melalui media sosialnya sejak tahun 2017.
Dedi Mulyadi membuktikan bahwa kampanye efektif dapat dilakukan dengan media sosial. Dengan media sosial politisi tidak perlu membagikan sembako, mereka hanya perlu membagikan kegiatan dan isi pikirannya. Di samping murah, kampanye seperti ini juga mencerdaskan rakyat.