Mohon tunggu...
Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Klasik

Sedang menempa kanuragan di Jurusan Ahwalusasyhiah IAI Ibrahimy Genteng Bumi Blambangan Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Nasib Pilu di Lahan Tebu

8 Mei 2020   15:25 Diperbarui: 8 Mei 2020   15:41 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani memanen tebu secara manual. (Foto. Liputan6.com)

Ayam mati di Lumbung Padi, adigium yang mungkin pas menggambarkan kondisi buruh perkebunan yang ada di Glenmore Banyuwangu saat ini. Bagaimana tidak, sejak perubahan fokus industri tanam perkebunan dari Karet, Kakao dan Kopi kini berali ke tanaman menjadi tebu semua berubah.

Buruh perkebunan semakin terhimpit, meski memang belum keseluruhan luas kebun berubah tebu. Luasannya kini hanya tinggal beberapa hektar untuk tanaman kakao dan karet. Hingga nanti saat lahan karet dan kakao yang tersisa sudah tidak roduktif lagi, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk dirubah menjadi perkebunan tebu.

Memang buruh kebun tidak memiliki pilihan atas kebijakan yang diberikan pihak perkebunan. Namun harusnya ada upaya yang memiliki titik temu yang diharapkan bisa menjadikan solusi yang baik untuk semuanya. Agar PT Industri Gula Glenmore (IGG) yang diresmikan awal agustus 2016 lebih nyata manfaatnya.

Berdasarkan laman resminya pabrik ini dibangun di atas lahan seluas 3.110 hektar, dirancang berkapasitas 6.000 TTH. Pun begitu, rancangan tersebut masih dapat ditingkatkan kapasitasnya hingga 8.000 TTH. Namun, hal ini dapat terealisasi juga masih menimbulkan pertanyaan.

Tidak hanya itu, sebagai pabrik gula modern, limbah IGG yang dihasilkan akan dikelola menjadi produk sampingan yang bermanfaat. Salah satunya mampu menghasilkan daya listrik 6 Mega Watt (MW), bioethanol, pupuk organik, dan pakan ternak. Ironisnya, keluhan soal limbah masih menjadi sorotan.

Mengingat tiap musim giling tiba, selalu saja ada keluhan yang dirasakan utamanya masyarakat Banyuwangi di sepanjang aliran Sungai Kalibaru yang memanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Diakui atau tidak saat musim giling tiba pasti aliran sungai ini berubah warna dan bau akibat limbah pabrik IGG.

Warga bukan justru mendapat angin segar tapi malah angin ribut, bagaimana tidak, pabrik yang digadang-gadang menjadi perusahaan gula terbesar di Indonesia dengan kapasitas dan kapabilitas giling mumpuni seolah sirna saja. Bahkan kala iku, pabrik diharapkan bisa menyerap angkatan kerja disektiar pabrik hal itu hanya mitos belaka.

Sebab hadirnya IGG bukan membuka banyak peluang kerja, sebaliknya malah menutup lapangan kerja yang sudah ada ketika tanaman karet dan kakao cukup menjadi komoditi. Sebab adanya pabrik itu, menjadikan luasan tanaman karet dan kakao semakin sempit lantaran digerus dengan tanaman tebu.

Skema Kerja

Selain itu serapan tenaga kerja yang dibutuhkan pabrik IGG juga tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Apalagi seluruh tenaga kerja yang ada di IGG rata-rata warga pendatang yang berasal dari luar Kota Banyuwangi. Tentu ini menjadi hak perusahaan, tapi apalah artinya pembukaan pabrik baru jika tidak berdampak signifikan terhadap masyarakat sekitar.

Dulu kala saat tanaman kopi, karet dan kakao menjadi komoditi, warga bisa bekerja setiap hari lantaran tanaman-tanaman tersebut butuh perawatan dan hasil getah karet memang harus diambil setiap hari bagi tanaman yang sudah produktif. 

Tak ubanya kakao dan kopi, saat musim panen tiba, buruh kebun akan memanen hasilnya untuk nantinya diberikan ke perusahaan. Sebaliknya saat tidak musim panen, maka buruh tetap dilibatkan dalam perawatan tanaman. Sehingga tetap ada lapangan kerja setiap saat bagi buruh.

Disisi lain saat tanaman tebu sudah mulai mendominasi, buruh kebun bakal kebanjiran waktu kerja saat musim tebang tiba. Rata-rata memang dilibatkan dalam proses panen tanaman tebu yang berlangsung selama enam bulan. Nahasnya setelah tebu di panen, maka akan banyak waktu menganggur bagi buruh.

Ini disebabkan tanaman tebu yang tidak membutuhkan perawatan laiknya tanaman Karet, Kopi atau Kakao. Sehingga selama enam bulan tersebut bisa ada yang dirumahkan atah todak belerja sama sekali. Seandainya berkerja pun prosentase waktu yang diberikan pihak peekebunan sungguh timpang dengan sebelum tebu mendominasi.

Minim Lapangan kerja

Lebih ironisnya lagi, meski di Glenmore memiliki perusahaan gula yang memiliki kapasitas cukup besar, namum harga gula yang ada tidak semanis rasanya bagi masyarakat perkebunan. Memang masalah harga ini penulis tidak menafikan perihal skema pasar dan segala hal yang ada didalamnya.

Namun cukup naif jika penulis tutup mata, ditengah hamparan ribuan hektar kebun tebu yang siap menjadi gula. Buruh perkebunan tetap mendapatkan harga gula yang tidak dibilang murah. Entah skema pasar macam apa, jika di Glenmore sendiri memiliki pabrik gula tapi justru harganya bisa sampai tak terkontrol seperti ini.

Jika dulu banyak anak muda di Glenmore khususnya wilayah perkebunan memilih peruntungan ke Bali lantaran intensif dan kecilnya upah yang di dapat. Sekarang justru alasannya semakin kuat ditambah dengan minimnya lapangan kerja yang ada menjadikan merantau jadi salah satu jalan.

Permasalahan perubahan tanaman tebu tidak sampai di situ saja, bagi warga perkebunan selain menjadi buruh biasanya juga memilih berternak sapi. Pun sapi di perkebunan hampir keseluruhan memilih pakan yang sudah disediakan alam berupa rumput liar yang ada disekitar kebun karet dan kakao.

Ironisnya, lahan garapan yang dialihfungsikan menjadi tanaman tebu saat ini tidak memungkinkan tumbuhnya rumput yang disebabkan padatnya tebu yang ditanam. Berbeda dilokasi sekitar kebun karet dan kakao yang disana menyisakan ruang bagi rumput untuk tetap berkembang biak.

Sehingga, tetap bisa dimanfaatkan oleh buruh kebun yang ada disekitar Glenmore. Idealnya memang harus ada pertemuan antara kedua belah pihak untuk bisa mencari solusi. Jangan sampai lantaran mengejar keuntungan semata, pihak perkebunan mengabaikan kesejahteraan pekerja.

Imbasnya tentu akan berdampak signifikan, sebab harapan besar untuk bisa menikmati adanya manfaat IGG tentu juga agar masyarakat sekitar bisa merasakan peningkatan kesejahteraan. Bukan malah justru mengkebiri apa yang seharusnya menjadi hak buruh perkebunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun