Mohon tunggu...
Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Klasik

Sedang menempa kanuragan di Jurusan Ahwalusasyhiah IAI Ibrahimy Genteng Bumi Blambangan Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Elegi Sunyi Gerakan Mahasiswa

4 Mei 2020   20:00 Diperbarui: 4 Mei 2020   19:55 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto. Ilustrasi. (Amanat.id)

Melihat perkembangan geliat gerakan mahasiswa dewasa kini tentu tidak akan hanya sampai pada satu diskursus perihal apa, mengapa dan kenapa gerakan tersebut harus tetap diruwat. Selalu celah untuk menyangkal untuk meredam aktivitas gerakan ini yang terus tumbuh.

Faktanya sejarah mencatat pada masanya, gerakan ini seperti mendapat angin segar bagi perkembangan negeri menuju ke arah yang lebih baik. Tindakan-tindakan represif tidak pernah mengusik sikap kritisnya. Atau ancaman-ancaman yang dilakukan secara seporadis tentu tidak akan membuat mundur.

Pun cara pandang yang berbeda dalam melihat suatu isu sosial di masyarakat justru membuka ruang diskusi yang bisa menambah wawasan di semesta ilmu pengetahuan. Pun apakah gerakan ini tetap menjaga ghiroh bagi setiap generasinya sehingga tetap bisa menjaga muru'ah dalam setiap sikap.

Ataukah di setiap era akan memiliki ciri tersendiri seputar jalan dan upaya nyata di dalamnya untuk tetap tumbuh dan berkembang. Tanpa menafikan hal-hal yang tidak esensi namun pasti. Sebab apapun semangat yang dibawanya tetap saja itu akan memberikan dampak yang cukup krusial.

Dampak yang tentu diharapkan tidak berkebalilan, dimana oligarki dan conflict of interest menjadi semacam hal mafhum yang nyaris di temui di setiap gerakan kemahasiswaan. Jika dulu, selalu saja ditemui satu kesatuan sistem yang memiliki tatanan baik sosial histori guna menjadi landasan gerakan dalam setiap perjalanannya. Apakah hal itu masih tersisa?

Status Quo

Sebab yang ditemui saat ini bukan sekedar kumpulan orang yang takut keluar dari tingginya menara gading yang ada. Kenyamanan dan status quo memaksa apa yang seharuanya ideal tak sesuai realitas. Apa yang harusnya mudah tak ubahnya dibuat susah dengan dialektika-dialektika tak kasat mata.

Membaca gerakan mahasisiwa saat ini tentu tak cukup hanya sekedar melihat apa yang terjadi di lapangan. Atau membandingkan dengan gerakan yang sama pada masa lampau. Meskipun ideologi keorganisasian yang ditanamkan sama, namun tetap saja output yang dikeluarkan berubah.

Jika dulu tidak sedikit di temui mahasiswa yang fokus dengan gerakannya hingga mengesampingkan proses perkuliahan tentu hal tersebut akan sedikit bergeser saat ini. Dulu saat biaya kuliah tak semahal sekarang, berapapun semester yang ditempuh tidak akan membuat pusing perihal pendanaan perkuliahan.

Ini tentu tidak akan berlaku bagi generasi mahasiswa saat ini, dimana kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang yang masif diterapkan di perguruan tinggi sejak medio 2013 menjadi titik awal geliat mahasiswa terbatas dan dipaksa harus segera lulus dengan pelbagai kebijakan yang memberatkan.

Kebijakam UKT yang awalnya dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan justru semakin membuat jurang pemisah yang cukup dalam. Penulis cukup ingat diawal penerapannya kebijakan itu dilakukan agar mahasiswa dari keluarga biasa juga bisa mengenyam pendidikan dengan skema subsidi silang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun