Mohon tunggu...
M Chusni Farid
M Chusni Farid Mohon Tunggu... Human Resources - penikmat cerita yang suka bercerita

mahasiswa jurusan bahasa dan sastra arab. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Cerita Ulang Tahun

2 November 2021   16:51 Diperbarui: 2 November 2021   17:49 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sudah kubilang kan agar tidur tepat waktu, mau sampai kapan kamu hidup bermalas-malasan. Mendengkur di pagi hari, masih berselimut ditengah kesibukan orang-orang mencari penghidupan.kamu anak lanang nang. Tumpuan hidup keluarga"

perkataan itu sering kali dilontarkan oleh laki-laki yang setiap hari membangungkanku. Ia tampak kelihatan gemas dengan keadaanku yang tak kunjung berubah. Masih tetap sama setelah bertahun-tahun jauh dari rumah. Mendengkur kala surya mulai menampakkan kehangatannya.

Kata-kata itu sering kali mengusik batinku, membuatku berpikir panjang. Mau sampai kapan? Ah masa bodoh pikirku! Toh kehidupanku masih panjang. Aku bisa berubah saban waktu, ketika aku ingin berubah.

Laki-laki itu melenggang pergi setelah melihatku bangun, aku mengusap wajah dan mulai beranjak membuntuti langkahnya. Menuruni anak tangga dan masuk ke bilik mandi. Membasuh wajah menunaikan ibadah. Dan kembali kulanjutkan mimpiku yang sempat tertunda.

Ayam berkokok, keruyu-ruyu pagi disaat orang-orang mulai menjalankan rutinitas. Suara ibu-ibu sayup-sayup mencegat tukang sayur. Suara lidi yang bergesekan dengan tanah menggiring daun-daun kering, suara mesin motor distarter, dan suara-suara lainya yang mulai mengusik mimpiku. Kadang aku terbangun karena merasa risih, dan memejamkan mata kembali dengan tidak mempedulikan suara mereka. Kecuali suara anak kecil yang datang dari adik bungsuku.  Ketika meneriakiku untuk bangung, maka aku langsung bangun dan pergi beranjak.

"Sudah sarapan nang?" sapa seorang perempuan dengan balutan senyum didepanku.

Aku hanya menggangguk, dan melenggang pergi ikut membantu ayah yang sedang memuat barang kiriman. Sepuluh dus gelas mineral, dua dus soda dan beberapa jenis barang lainnya. Kami berdua bekerja sama saling bergotong-royong memuat dan tak lupa mengecek kembali barang apa saja yang sudah siap dikirim.

Hari-hariku berjalan monoton, melakukan pekerjaan yang itu-itu saja. Setelah subuh kembali bermimpi, dan terbangun ketika matahari mulai meninggi, itu-pun sering kali setelah diteraiki oleh si bungsu, dengan langkah malas aku berjalan ke bilik mandi dan pergi bersiap untuk membantu pekerjaan orang tua.

Pekerjaan terus berlanjut Hingga malam selepas isya. Barulah aku pamit untuk beristirahat, pulang ke rumah untuk mengisi daya. Berbaring di tempat tidur sambil membaca cerita. Hingga waktu menjukan tengah malam, barulah aku membuka layar komputer.

Memulai mengetikan cerita, sering kali aku menulis karena kegusaran hati, unek-unek yang tak sempat tersampaikan. Lebih sering mengulang kembali cerita yang baru saja terjadi. Menulis cerita adalah hobiku semenjak pergi jauh dari rumah. Karenannya aku bisa mengenang banyak peristiwa. Sedikit banyak bisa mengurangi rasa rindu kala itu.

Aku belajar membuat cerita seorang diri, toh kegiatanku ini sedari awal tidak ada yang mendukung. Dimata kedua orang tua-ku, aku hanyalah seorang pemuda pengangguran yang menghamburkan waktu sia-sia didepan layar komputer. Tak ada uang yang dapat dihasilkan dari kegiatan tersebut. Mereka lebih menginginkan anaknya bekerja jelas. Seperti pegawai negeri itu yang hidup penuh  dengan tunjangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun