Mohon tunggu...
Farah Aliyah Syahidah
Farah Aliyah Syahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long life learner

Pembelajar yang berkecimpung di dunia psikologi pendidikan, literasi, bisnis dan kerelawanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuli dan Covid-19

30 Juli 2021   10:02 Diperbarui: 30 Juli 2021   21:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Assalamu'alaikum, selamat pagi. Hari ini tepat pukul 9.34, baru saja selesai berdiskusi antara dua sejoli yang suaranya sering kali tidak di dengar, dibungkam oleh orang yang beradu, saling membalap untuk didengarkan. Diam-diam kami sering meratapi perasaan kami, memendam amarah dan hanya bisa sesenggukan menangis, saat menuggu momen yang pas untuk mengutarakan pendapat, yang ada malah forum mulai mengalihkan topik. 

Kami selalu terlambat, ujarnya. Bahkan di saat semua saling memotong pembicaraan dan berebut untuk di dengar, maka hanya huruf-huruf saja yang dapat mewakili untaian tiap rasa yang tak sempat terungkap. Bukan hanya itu, bahkan dalam setiap tulisan-tulisan yang diwajibkan dalam hamper seluruh sektor pendidikan, hanya mementingkan faktor kognitif, banyak sekali sistem yang abai atas adanya faktor yang terpinggirkan, afektif. 

Maka dari itu, banyak sekali orang-orang kreatif pada akhirnya menjadi asing, baik oleh dunianya sendiri maupun orang terdekatnya. Di bungkam, kucilkan, dianggap aneh. Akhirnya, kami hanya mengalah, mengisi daya dari keramaian, dan saat pandemi tiba, suara-suara dari dalam itu pelan-pelan berbisik, kemudian berbicara, kemudian berteriak hingga akhirnya kami tersadar. Mungkin inilah yang orang lain katakana sebagai inner voice.

Betapa sulitnya hidup dengan ketidakjujuran bagi sebagian orang, entah kami hanya minoritas atau memang banyak sekali yang merasa demikian. Jika dalam Islam menyebutnya sebagai fitrah, banyak sekali dalam diri kita telah dibutakan oleh pengaruh lingkungan, dan kita dengan senang hati mempersilakan itu masuk tanpa ada yang perlu disaring. Masing-masing orang tentu saja original, unik dan autentik. Masing-masing orang itu aneh. 

Bayangkan saja, dari sebuah penelitian dari bayi kembar yang dibesarkan dari lingkungan yang sama, tetap akan menghasilkan kepribadian yang berbeda. MasyaAllah, Allahuakbar. Maha Besar Allah atas segala apa yang telah Dia ciptakan. Kita ini hanya makhluk, yang diterjemahkan oleh salah satu buku kubik leadership adalah corong-corong energi kebaikan Allah. Kita ini bukan pusat pembuat energi.

 Lantas di sinilah, keunikan perasaan yang tidak akan bisa dirasakan oleh orang lain secara detail. Ada banyak standardisasi yang dilakukan manusia untuk menggenaralisasi proses kognitif, namun untuk aspek afektif? Itu tetap menjadi misteri, bahkan dalam ranah psikologi, psikologi sebagai ilmu yang tentu saja masih banyak kekurangan dan terus akan memperbaiki diri, bahkan memberikan alternatif, psikologi indegineous sebagai pilihan ketika kita hendak memahami sebuah budaya atau individu pada tempat dan keadaan tertentu.

Memang benar, nyatanya ilmu Allah seluas samudera, yang bahkan ketika seluruh pohon di dunia ini dijadikan pena untuk menulis dan laut adalah tinta, tidak akan bisa menuliskan seluruh ilmu-Nya.

Bukankah kita ini sudah berjanji dengan-Nya untuk taat kepada-Nya sebelum kita lahir ke dunia? Lantas, kita ditulikan oleh suara-suara luar yang terus berbisik dan dengan kejam pelan-pelan mencekik teriakan suara dari dalam, kita menjadi manusia yang mudah salah, mudah tergelincir. 

Tentu saja Allah dengan seluruh kasih sayang-Nya, selalu membuka pintu taubat, namun orang-orang yang bertaubat tentu saja membutuhkan kerendahan hati untuk mengalahkan ego, bahkan suara-suara yang selama ini mengganggunya, menyadari bahwa kita ini lemah dan seringkali salah, maka dari itu kita merasa perlu untuk bertaubat.

Maka momen pandemi ini lantas menjadi perenungan yang mendalam, tentang alangkah baiknya jika kita mulai mendengar rintihan hati kita sendiri, mencoba jujur atas diri kita. Tidak mengapa menjadi rapuh dan tidak sempurna. Allah memang menciptakan demikian. Kita ini bukan pusat energi, bukan pusat semesta, kita hanya corong-corong kebaikan Allah. Maka tentu saja, tugas kita beribadah sebaik mungkin kepada-Nya, dan mengenai ibadah, ada dua indikator yang seringkali diutarakan para da'i, ibadah secara vertikal, kepada Allah dan horizontal, kepada sesama makhluk hidup (manusia, tumbuhan, hewan dan mungkin juga jin). Sungguh, tidak ada yang salah tentang menjadi tidak sempurna. 

Nyatanya hanya Allah Yang Maha Sempurna, kita hanya ditugaskan untuk terus istiqomah (mendawamkan amal sambil menambah sedikit demi sedikit), yang kebanyakan dari milenial menyebutkan sebagai growth, bertumbuh. Semoga tulisan ini menjadi renungan untuk kita, meski suara kita tidak di dengar, tapi Allah Maha Mendengar. Allah Yang Maha Mengetahui bisikan dalam hati kecil kita, rahasia-rahasia yang kita tulis, tangisan sesenggukan di malam-malam sunyi. Allah bersama kita. Terima kasih atas hikmah dari pandemi ini, kehilangan, kesakitan, ketakutan dan kecemasan yang telah membuat dunia sunyi, sehingga kami bisa mendengar suara nurani kami, Ya Allah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun