Mohon tunggu...
Farah Aliyah Syahidah
Farah Aliyah Syahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long life learner

Pembelajar yang berkecimpung di dunia psikologi pendidikan, literasi, bisnis dan kerelawanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perfeksionis dan Kehidupan Fiksi

27 Juli 2021   17:08 Diperbarui: 27 Juli 2021   17:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Assalamu'alaikum. Di sini tepat pukul 16:55, semilir angin perlahan menerobos celah-celah jendela, cahaya matahari mulai meredup dan merona jingga. Sementara penulis tersapu oleh angin dan terlalu sibuk oleh pikiran-pikiran yang terus berkecamuk. 

Sendiri adalah ketakutan akan terputusnya koneksi dari sesama maupun semesta, di lain sisi adalah keberanian untuk melihat dan menyelam ke dalam. Bersyukur atas rahmat-Nya untuk setiap perjumpaan-perjumpaan yang digariskan. Meski harap cemas, akankah kepastian dapat terjadi di masa depan?

Dalil, hukum, imaji, dan teori yang entah apakah dapat dibuat hipotesis? Setiap manusia sepertinya adalah seorang perfeksionis. Beberapa dalam hal pekerjaan, beberapa dalam hal karier, beberapa dalam hal perasaan, beberapa dalam hal berkegiatan sehari-hari. 

Kita adalah yang diburu waktu untuk terus bersaing satu sama lain, menjajaki era yang terlus melaju pesat. Hanya ada dua pilihan, terus berkembang, maju dengan risiko tertekan atau mencoba tenang, namun digilas keadaan.

Lantas, berbagai bayangan ideal tentang suatu hal yang baisa orang sebut sebagai creativity adalah sebuah akhir yang harusnya perlu dijembatani oleh proses, proses gagal, proses belajar, proses melangkah. 

Meski pada beberapa teori, cukup bertolak belakang, bagaimana lantas rasanya menjadi perfeksionis? Menetapkan tujuan setinggi mungkin, kemudian jika gagal memberi kritik paling buruk pada diri. Alangkah indah, jika ternyata semua ini hanya fiksi.

Hidup dalam berbagai kemungkinan dan fantasi, mewujudkan berbagai kesempurnaan dalil, hukum dan teori yang melulu digaungkan. Kita terus dituntut menjadi sempurna, padahal Allah menciptakan kita terbatas. Ketidaktahuan atas masa depan, kemungkinan-kemungkinan terkadang menguras tenaga, padahal jawabannya sederhana, wamanyyatawakkal 'alallah fahuwa hasbuh. 

Usai menghabiskan energi dan tenaga untuk mengejar, pasrah pada sang pembuat keajaiban yang tidak terbatas. Terima kasih untuk diskusi panjang dan pembelajarannya. Tarik napas, hembuskan. Tenang, Allah ini Maha Pengampun, kita saja yang perlu sadar diri, mengalahkan ego dan bersimpuh di pangkuan-Nya, bahwa kita adalah lemah dan terbatas.

Di tulis pada,

27 yang ke-7

Dalam hening yang syahdu diiringi suara meongan kucing

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun